Panduan menggunakan Blog ini :D

Pembaca yang budiman, silahkan isi kolom komentar dan memulai diskusi pada setiap postingan. Semakin ramai semakin semangat saya dalam mengelola blog ini. Selamat menjelajahi seluruh isi blog. ^_^.

Mar 21, 2011

Tulisan Temen : Tentang Radiasi Nuklir

Bicara tentang radiasi, sejatinya radiasi itu ada banyak macemnya, tapi disini kita hanya akan membahas radiasi yang berhubungan dengan dunia nuklir. Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium. Untuk radiasi nuklir disini, maka yang aka kita bahas adalah radiasi yang berasal dari proses fisika yang terjadi di dalam inti atom

Radiasi sendiri berasal dari proses peluruhan, yaitu proses perubahan inti atom yang tidak stabil menjadi inti yang lebih stabil. Peluruhan ini memancarkan radiasi. Ada 3 jenis radiasi disini, yaitu:

  1. Radiasi Alfa. Daya ionisasi paling besar, jarak jangkauan paling pendek. Hanya beberapa mm di udara, tergantung besar energinya.
  2. Radiasi Beta.
  3. Radiasi Gamma. Daya ionisasi paling lemah, jarak jangkauan paling jauh.

Setiap radiasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ketika bicara tentang bahaya radiasi, harap di definisikan dulu radiasinya merupakan radiasi apa: alfa, beta atau gamma. Karena setiap jenis radiasi memiliki cara penanganannya sendiri.

Selain dari jenis radiasi, yang juga perlu diperhatikan adalah aktivitasnya. Aktivitas radiasi didefinisikan sebagai jumlah peluruhan yang terjadi dalam satu detik. Makin besar aktivitasnya, radiasi yang dipancarkan juga semakin banyak.

Efek dari radiasi kalau mengenai tubuh manusia, bergantung dari jenis radiasi dan aktivitasnya. Secara umum efeknya bersifat tidak langsung. Maksudnya: ketika terpapar radiasi, tubuh kita tidak akan merasakan apa-apa, sama seperti biasa. Abnormality akibat terpapar radiasi baru akan terasa beberapa waktu kemudian, itupun dengan syarat kalau tubuh kita terpapar radiasi dalam jumlah besar dan secara terus-menerus.

Abnormality yang mungkin terjadi umumnya adalah kelainan pada sel, mutasi gen atau kanker. Sekali lagi, hal itu mungkin terjadi dengan syarat: kita terpapar radiasi dalam jumlah besar dan secara terus-menerus. Jika aktivitasnya adalah kecil, terpaparnya jarang-jarang (tidak terus-menerus), dan masih dibawah batas dosis yang ditentukan, maka kecil kemungkinan abnormality tersebut akan terjadi.

Ya, radiasi di bidang nuklir memang memiliki potensi bahaya. Tapi dengan mengetahui ilmunya, kita bisa mencegah hal itu terjadi. 3 hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari dampak negatif radiasi adalah:

  1. Activity. Hindari bersentuhan langsung dengan sumber radiasi yang aktivitasnya tinggi.
  2. Time. Jangan berlama-lama bersentuhan dengan radiasi.
  3. Shielding. Gunakan pelindung (dari bahan tertentu untuk jenis radiasi tertentu) untuk meminimalisir paparan radiasi dan mengurangi jangkauan radiasi.

Dengan mengetahui ilmunya, maka sejatinya radiasi bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Jadi, lupakan cerita fiksi mengenai Spiderman, Hulk ataupun Fantastic Four yang memiliki kekuatan super akibat terpapar radiasi.

Di sisi lain, radiasi sendiri lazim dipakai dalam keseharian. Pengobatan kanker bisa menggunakan radiasi, karena radiasi dapat diarahkan sehingga dapat menembak sel yang terkena kanker dengan tepat sasaran, tanpa mengenai sel lainnya yang sehat. Juga di dunia biologi, produk makanan diradiasi untuk merekayasa bakteri sehingga makanan tersebut dapat lebih tahan lama. Dan yang perlu diperhatikan adalah meskipun terkena radiasi, tubuh kita atau makanan itu tidak akan menjadi radioaktif (tidak akan teraktivasi untuk memancarkan radiasi lainnya).

Depok, 15 Maret 2011, 14:31

*Penulis juga masih belajar tentang ilmu nuklir. CMIIW: Correct Me If I Wrong.

Sumber:

- Berbagai referensi yang penulis dapat selama masa kuliah, artikel-artikel dan buku-buku seputar nuklir.

tulisan aslinya :
http://www.facebook.com/#!/notes/c-kink-ardya/nufononeradiasi/10150104383913247?notif_t=note_reply&refid=0

Share pengalaman berdiskusi seputar nuklir di Kaskus

Tiga hari ini saya begadang hanya untuk ngaskus (baca: ngenet di www.kaskus.us), entah dapat ilham dari mana, malam-malam (hari jumat) saya nulis segala sesuatu yang saya ketahui tentang Nuklir. Waktu itu tujuan saya hanya satu, mencoba berbagi pengetahuan dengan orang-orang yang masih awam dengan Nuklir. Semenjak bencana di Jepang yang mengakibatkan PLTN di sana meledak, isu pro kontra pembangunan PLTN di Indonesia kembali mencuat, yang sangat disayangkan, banyak komentar-komentar dari para penolak PLTN yang sekedarnya, tanpa dilandasi ilmu dan sumber yang mumpuni. Hal ini lah yang menjadi motivasi saya untuk menulis thread (Postingan, Topik) pertama saya di Kaskus.

Sabtu pagi sebelum subuh, tulisan itu saya lempar ke khalayak umum di Kaskus. Tanggapan mulai mengalir pelan-pelan, satu demi satu dan kesemuanya mengatakan bahwa ilmu mereka tentang Nuklir bertambah setelah membaca tulisan saya. Rate bintang lima pun langsung saya peroleh. Beberapa malah mengatakan bahwa thread yang saya buat pantas menjadi hot thread. Memasuki hari minggu, thread saya mulai sepi, akhirnya saya berinisiatif mempromosiaknnya tidak hanya di FB, tetapi juga di thread sebelah (postingan lain dari orang lain).

Cukup banyak saya numpang iklan di berbagai thread orang lain, sampai akhirnya, hari minggu siang, saya menemukan thread di forum Berita & Politik yang juga membahas tentang Nuklir. Baru saja diluncurkan thread itu sudah menembus angka ratusan tanggapan (mengalahkan thread saya yang belum genap 100 komentar). makin sore ternyata makin rame. tidak hanya diisi para pendukung PLTN, para penolak pun berjubelan masuk. akhirnya terjadilah perang argumen antara beberapa orang yang memilikki argumen-argumen yang kuat. saya tidak melewatkan kesempatan ini, sekaligus sebagai sarana promosi thread, saya maju di barisan depan untuk mengcounter argumen-argumen dari para penentang PLTN, tentu dengan sumber yang jelas.

Setelah sekian lama beradu argumen (bukan hanya saya sendiri tentunya, banyak juga yang membantu saya), saya menerima pukulan telak. Awalnya ada yang menolak PLTN di Indonesia karena takut akan limbahnya (ia menyebutkan limbah Nuklir tidak akan terurai hingga 24.000 tahun), saya balas dengan menyebutkan bahwa indonesia memiliki ahli nuklir yang merupakan penemu material untuk penyimpanan limbah radioaktif, saya sertakan pula artikelnya (ini artikelnya http://j.mp/hjlBPO atau http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/03/19/0096.html0. Ahli Nuklir yang saya maksud itu tentu saja Dosen saya, Bapak Dr. Ir. Yudhi Utomo Imardjoko. M.Sc. Argumen saya ini langsung dipukul telak oleh seorang penolak PLTN dengan melampirkan artikel yang intinya menyebutkan bahwa beliau (Pak Yudhi) lebih fokus ke renewable energy ketimbang nuklir (ini artikelnya http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1104525223)

Saya terdiam, lemas, dan kemudian berhenti "bertarung" di situ.yang terlintas di pikiran saya saat itu, pak Yudhi tiba-tiba muncul dan menjelaskan dengan gamblang tentang maksudnya mengatakan bahwa beliau lebih memilih renewable energy ketimbang nuklir.:D

Terlepas dari insiden tersebut, selama berdiskusi (kalau tidak mau disebut berdebat) di forum kaskus itu, saya menarik kesimpulan, bahwa para penolak pembangunan PLTN di Indonesia dapat digolongkan menjadi :

1. Orang yang menolak karena tidak paham tentang nuklir. hanya tau dari media bahwa nuklir itu berbahaya. risiko tinggi. setelah membaca thread saya di kaskus, orang tipe ini berpendapat "setelah membaca thread ente, ane jadi berubah pikiran, ane dukung deh PLTN di Indonesia"

2. Orang yang menolak karena meragukan para pejabat, pengambil kebijakan dan eksekutor dari program PLTN. tipe orang ini komentarnya "Bagaimana bisa Indonesia ngurus PLTN, lha wong ngurusi Elpiji 3 kg aja kagak becus, Lapindo dibiarin sampe sekarang, bulan lalu mbangun jalan hari ini ambrol, bagaimana nanti kalau tembok PLTN yang harusnya setebal 1,5 m dikorupsi hingga cuma bikin 0,5 m?" bahkan ada yang nyambung-nyambungin dengan gayus dan masalah bocornya soal UAN.

3. Orang yang menolak karena ingin menolak. orang ini hanya bilang saya tidak setuju, saya menolak, tidak bisa, dan sebagainya tanpa memberikan argumentasi dan alasan yang jelas. kata-kata saktinya adalah "pokoknya"

4. Orang berpendidiakn yang menolak PLTN dengan alasan-alasn yang logis, didukung data-data yang kuat, sumber yang jelas dan inilah dia, tipe orang yang memukul telak saya :D :D :D

bagi yang mendukung PLTN, bersiap-siaplah untuk menghadapi tipe orang nomor 4. bagi yang menolak PLTN, berada pada kriteria nomor berapakah anda?? v^_^v

Bagi yang ingin membaca kembali thread kaskus yang saya bicarakan, silahkan mampir saja ke sini

punya saya http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7523240

punyan teman seperjuangan http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7534690&page=69

(hanya bagi para kaskuser)

ngomong-ngomong, thread pertama ane dilempari tiga cendol gan! lumayan :D :D :D

Mar 16, 2011

Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 02)

“Assalamu'alaykum Dewi.......”

“Wa'alaykumussalam Bu Rahma, ada yang bisa saya bantu?”

“Besok ahad pagi sibuk tidak? Bisa bantuin ibu menata taman bacaan yang baru mau ibu rintis?”

“Em.......Insya Alloh bisa Bu, tapi agak siangan. Mungkin sekitar jam 9 saya baru bisa ke sana. Tempatnya di mana Bu?”

“deket kok sama rumah Ibu. Nanti Dek Dewi ke rumah Ibu dulu aja”

“Oh, baik Bu, Insya Alloh. Ada yang perlu saya bawa atau persiapkan?”

“Tidak usah, Ibu cuma butuh bantuan tenagamu, Oh,ya nanti Nisa dan Nabila juga ibu mintai tolong. Kalian belum saling kenal kan? Nanti sekalian Ibu kenalin”

“Yang pernah ibu ceritain itu ya, Baik Bu”

“Sampai ketemu besok ahad ya, Assalamu'alaykum”

“Wa'alaykumussalam Bu”

Kututup handphoneku. Dan aku kembali mengerjakan tugas-tugas kuliahku.

Hari ahadnya, setelah mengikuti pengajian rutin ahad pagi, aku segera menuju ke rumah bu Dewi. Sesampainya di sana, aku langsung di sambut oleh Haniya yang sedang bermain puzzle di teras rumah. Aku bantu dia membuka pintu gerbang, kami saling mengucapkan salam dan dia mencium punggung tanganku.

“Ayo kak ke tempat bunda! Tadi bunda pesen kalau kak Dewi sudah datang, Haniya diminta langsung mengantar kak Dewi ke sana. Kak Nisa ama Kak Nabila juga udah datang”.

Haniya membereskan permainan puzzlenya, masuk ke rumah, menutup dan mengunci pintu rumah dan pintu gerbang. Semakin hari, gadis kecil ini semakin membuatku terpesona. Sepertinya, bukan hanya aku. Tetangga-tetangganya di sini dan guru-gurunya di TKIT pun takjub dengan “keajaiban” yang sering Haniya pertunjukkan. Dengan berdiri di depanku, Haniya menunjukkan arah mana yang harus aku tuju.

Tidak terlalu jauh memang, masih di komplek yang sama. Hanya selisih dua gang. Lokasi yang hendak Bu Rahma jadikan taman bacaan ini sungguh ideal. Sebuah ruangan berukuran sekitar 8 m x 5 m tepat berada di samping gang, tidak menjorok ke dalam, sehingga terlihat jelas keberadaannya. Lahan kosong di sebelahnya bisa dijadikan tempat parkir. Bu Rahma dan dua orang perempuan yang aku taksir usianya hanya sekitar beberapa tahun di atasku tampak sedang menyelesaikan tahap akhir bersih-bersih ruangan tersebut.

Melihatku sudah tiba, Bu Rahma menghentikan aktivitasnya. “Eh, Dewi udah datang, Assalamu'alaykum......” sapanya sambil menjabat tanganku.

“Wa'alaykumusslam” Jawabku menyambut uluran tangannya.

Lalu, Bu Rahma memperkenalkanku kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Mbak Nisa satu tahun di atasku. Kuliah di Psikologi semester 7. Sedangkan Mbak Nabila 3 tahun lebih tua. Beliau sedang menempuh S2. Kami sempat mengobrol sebentar mengenai aktivitas kuliah kami masing-masing. Obrolan kami berhenti ketika Bu Rahma secara halus memerintahkan kami untuk melanjutkan acara bersih-bersihnya. Sebenarnya untuk bersih-bersih ruangan ini sudah hampir selesai. Hanya tinggal melanjutkan mengepel saja. Tapi kemudian, Bu Rahma memberikan arahan,

“Nah, sembari nanti menunggu lantai kering, coba kalian bertiga diskusikan, kira-kira penataan ruangan yang bagus bagaimana. Itu rak-rak buku, meja dan kursinya tinggal di tata saja. Ibu sama Haniya ke rumah dulu. Ntar Ibu balik lagi. Tolong ya. O,ya pinjem motornya Wi”

Aku serahkan kunci motorku ke Bu Rahma sambil bertanya, “Faqih ke mana Bu?”

“Di rumah, lagi bobok, makanya tadi Haniya Ibu minta jagain Faqih sambil nunggu kamu. Ini Ibu mau balik ke rumah nengokin Faqih. Semoga aja belum bangun”, setelah itu beliau segera pergi bersama Haniya. Meninggalkan kami bertiga yang sebenarnya bingung mau mulai bagaimana, tapi kemudian Mbak Nabila sebagai yang tertua berinisiatif,

“Bagaimana kalu penataannya begini...” kemudian dia menjelaskan idenya. Dimana rak-rak itu harus diletakkan, termasuk meja kursinnya. Dia juga menyampaikan tentang ide penambahan karpet agar anak-anak yang suka duduk lesehan merasa nyaman untuk membaca di tempat. Mbak Nisa menambahkan ide untuk memberi hiasan-hiasan dinding yang bersifat edukatif, serta rencana penataan buku dan pembagiannya di dalam rak-rak. Semua ide tersebut dicatat dalam sebuah notes. Aku agak malu karena tidak menyumbang ide apapun. Hanya mengiyakan saja.

Setelah lantai kering, kami kembali bekerja. Memasukkan rak-rak -yang ternyata tidak berat-, meja dan kursi. Selesai menatanya, ternyata Bu Rahma belum datang. Kamipun mengobrol sambil menunggu beliau. Dari obrolan ini, baru aku ketahui, bahwa dulu tempat ini dipakai untuk toko klontong. Karena kalah bersaing dengan mini market baru yang buka di jalan raya dekat kompleks ini, pemiliknya pun memilih untuk menutup tokonya dan menjual/mengkontarakkan tempatnya. Kemudian suami Bu Rahma membelinya. Termasuk membeli lahan kosong di sebelahnya -yang juga dimiliki si pemilik toko klontong-. Bu Rahma dan suaminya memang memiliki cita-cita memiliki taman bacaan yang bisa menarik dan meningkatkan minat baca anak-anak muda, minimal yang berada di kompleks ini. Bu Rahma memang sering cerita, beberapa remaja dan anak-anak di kompleks ini memiliki minat baca yang lumayan tinggi, sehingga beliau sering meminjamkan buku-buku koleksi pribadinya. Taman bacaan ini nantinya tidak hanya akan diisi buku-buku agama maupun buku pelajaran sekolah saja. Tetapi ada juga buku-buku cerita dan buku-buku pengetahuan umum. Yang penting buku tersebut mengandung ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Ketika aku tanyakan kepada Mbak Nabila, apakah Bu Rahma akan memasang tarif bagi penyewa atau peminjam buku-buku di taman bacaan ini, Mbak Nabila menjawab tidak. Tetapi jika ada yang ingin menyumbang agar koleksi taman bacaan ini semakin banyak, dipersilahkan saja.

Lagi-lagi aku tidak habis pikir, dana untuk mendirikan taman bacaan ini tentu tidak kecil. Apalagi sampai membeli tanah beserta bangunannya. Tetapi Bu Rahma dan suaminya sama sekali tidak mengharapkan profit dari sini. Ketika aku utarakan unug-unegku ini kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila, tepat pada saat itu Bu Rahma dan Haniya datang. Bu Rahma membawa kardus besar di jok belakang motorku. Kamipun menghentikan obrolan kami dan membantu beliau menurunkannya. Ternyata isinya buku-buku. Kami segera membukanya dan memilah-milahnya, kemudian kami tata ke dalam rak sesuai pembagian yang tadi sudah kami putuskan. Sedangkan Haniya asyik sendiri mengambil salah satu buku dan membacanya. Bu Rahma memuji hasil kerja kami. Meski kami bertiga tidak ada yang pernah mendapat pelajaran tentang desain interior, tetapi hasil desain kami bagus. Begitu pujian dari beliau.

Sambil menata buku-buku kedalam rak, Mbak Nabila -dengan gaya bercanda- menyampaikan uneg-unegku tadi kepada Bu Rahma. Wajahku sepertinya menjadi merah padam menahan malu. Tetapi Bu Rahma menanggapinya dengan serius.

“Mendirikan taman bacaan yang bisa menambah ilmu pengetahuan anak-anak dan remaja merupakan mimpi Ibu sejak Ibu masih seusia kalian. Dan Alhamdulillah, Alloh menjodohkan Ibu dengan seorang laki-laki yang juga memiliki mimpi yang sama. Kalian pasti akan kaget kalau tau ada berapa banyak mimpi atau cita-cita Ibu yang ternyata sama persis dengan cita-cita Bapak. Dan ini adalah salah satunya.”

“Memang, ada berapa Bu cita-cita Ibu yang sama?” aku tak tahan untuk tidak menanyakan ini.

“Ada banyak, Ibu sampai tidak hafal berapa jumlahnya. Kapan-kapan saja Ibu ceritakan lebih lengkap. Untuk taman bacaan ini, apa kalain tau? Kami mulai merencanakannya sejak kapan?”

Kami hanya menggelengkan kepala, kemudian Bu Rahma melanjutkan,

“Di Hari pertama kami menikah. Kami saling menceritakan impian dan cita-cita kami. Kemudian kami mulai menyusun rencana untuk mewujudkannya bersama-sama. Mana yang diprioritaskan dan mana yang ditangguhkan. Dan Alhamdulillah, pendirian taman bacaan ini hanya terlambat satu tahun dari target yang kami canangkan waktu itu. Permasalahan utamanya hanya karena kami belum menemukan tempat yang cocok dan ideal saja”.

“Em.....jadi sebenarnya, untuk dana, sudah ada sejak tahun lalu ya Bu?” aku masih penasaran.

“Sayangku,” Bu Rahma menyunggingkan senyumnya, “menurut sepengetahuanmu, Ibu dan Bapak punya berapa usaha sampingan?”

“E.....” aku mengingat-ingat sambil menoleh ke Mbak Nisa dan Mabk Nabila meminta bantuan, “Warung makan yang di dekat kampus” aku mulai menyebutkan satu persatu.

“Usaha catering, toko roti dan kue di daerah Sagan” Mbak Nisa menambhakan

“Rental komputer dan foto copy di dekat UIN itu juga punya Ibu kan?” Mbak Nabila ikut membantu.

“Oh, Iya, ada juga toko bunga di dekat Masjid Syuhada, ada lagi tidak Bu?” aku menoleh lagi ke Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Tapi keduanya diam. Sepertinya memang hanya ada empat itu.

“Kalau yang kepemilikannya penuh, iya benar hanya ada empat, tetapi kami juga punya beberapa usaha yang kepemilikannya gabungan antara Bapak dengan teman-teman Bapak. Nah, untuk membeli lahan termasuk bangunannya ini, kami menjual kepemilikan warung makan yang di dekat kampus itu kepada salah seorang teman Bapak. Jadi, kalau seandainya kami menemukan tempat yang ideal ini tahun kemaren, warung makan itu sudah bukan milik kami lagi sejak satu tahun yang lalu”.

Oh...aku baru paham. Keluarga Bu Rahma tidak menabung uangnya di bank. Tetapi menjadikannya modal usaha. Ketika mereka membutuhkan dana, usaha tersebut dijual. Benar-benar ide yang brilyan.

“Menurut kalian, apa kelebihan menabung uang dalam bentuk usaha dibandingkan ketika kita taruh saja uangnya di bank, toh sama-sama akan jadi semakin banyak uangnya” Bu Rahma menyampaikan pertanyaannya seakan-akan beliau bisa membaca pikiranku.

“Yang jelas bunga bank itu haram, kalau dengan menjadikannya modal usaha, penambahan uang kita berasal dari hal yang halal” aku langsung menyahut.

Bu Rahma hanya mengangguk kemudain menoleh ke arah Mbak Nisa yang ikut menjawab,

“Keuntungan dari usaha itu bisa berkali-kali lipat dibandingkan dengan keuntungan dari bunga bank”

“Dengan catatan, usahanya dimenej dengan tepat dan diperhitungkan yang cermat, serta dengan ijin Alloh tentunya sehingga usaha itu tidak bangkrut” Bu Rahma buru-buru menambahkan, “Ada yang punya jawaban lain?”

“Nilai mata uang itu makin lama makin turun. Lima ribu rupiah hari ini bisa untuk membeli satu porsi nasi lengkap dengan lauknya, tetapi lima ribu pada 10 tahun lagi bisa jadi cuma dapat nasi putih satu bungkus” Mbak Nabila menjawab dengan sangat cerdas menurutku.

“Semuanya benar, tetapi masih ada satu lagi alasan utama yang belum kalian sebutkan” Bu Rahma berhenti sejenak, melihat kami bertiga yang saling pandang dengan wajah bingung, beliau melanjutkan, “uang yang digunakan untuk membuka usaha itu berarti membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain, sedangkan uang yang disimpan di bank tidak memberikan manfaat apapun, malah membuat beban orang yang meminjam uang kita karena harus menanggung bunganya”

Kami hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan beliau. Aku sama sekali tidak terpikirkan tentang itu. Pemikiran yang luar biasa menurutku. Jiwa sosial yang begitu tinggi. Sebuah sikap yang sudah sangat jarang dimiliki oleh orang-orang di negeri ini. Kumandang adzan dzuhur menghentikan obrolan kami. Bu Rahma menyuruh kami menghentikan aktivitas menata buku ke dalam rak dan meminta kami ke rumahnya untuk shalat dzuhur dan makan siang. Selesai Shalat dan makan, kami melanjutkan menata bukunya. Taman bacaan ini sendiri rencananya baru akan diresmikan pekan depan. Menunggu suami Bu Rahma pulang dari tugas keluar negeri. Sekali lagi aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari ini.

Catatan tentang Teknologi Nuklir


Bagi yang bener-bener tertarik dengan Nuklir (daripada sekedar ikut2 atau malah sok tau) mending baca dulu deh note dari dosen ane (Jurusan Teknik Nuklir), ini saya susun berdasarkan urutan terbitnya

Analisis sementara Fukushima 1
http://www.facebook.com/notes/alexan...50130600472567

Informasi tambahan mengenai analisis Fukushima I
http://www.facebook.com/notes/alexan...50131285712567

Catatan ringkas mengenai dosis radiasi
http://www.facebook.com/notes/alexan...50132223937567

Another Chernobyl
http://www.facebook.com/notes/alexan...50132830027567

kebakaran di unit 4
http://www.facebook.com/notes/alexan...50133844252567

Perhitungan penguapan di spent fuel pool
http://www.facebook.com/notes/alexan...50133907037567

Apa itu hydrogen explosion
http://www.facebook.com/notes/alexander-agung/apa-itu-hydrogen-explosion/10150134285837567

Analisis lanjutan fukushima 1
http://www.facebook.com/notes/alexander-agung/analisis-lanjutan-fukushima-1/10150135916712567
silahkan disimak Gan!
Semoga mendapat pencerahan dari sini.
Bagi yang bingung dengan istilah-istilah yang digunakan oleh dosen ane, boleh ditanyakan di sini.


Tambahan:
Surat terbuka Pak Yudi U Imardjoko untuk Presiden

Mar 13, 2011

Lagi-lagi UN (Ujian Nasional)


Dalam hitungan sekitar satu bulan lagi, siswa SD kelas enam, serta siswa SMP dan SMA kelas tiga akan menghadapi sesuatu yang cukup menentukan masa depan mereka, yakni Ujian Nasional (UN). Sejak sistem Ujian Nasional menetapkan standar kelulusan yang terus ditingkatkan tiap tahun, kontroversi mengenai pelaksanaannya belum juga surut. Meskipun pertentangan antara pihak yang mendukung maupun yang menolak hanya muncul menjelang dan sesaat setelah Ujian Nasional saja. Sampai sejauh ini, pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasionalnya tetap kukuh untuk terus menyelenggarakan sistem Ujian Nasional walaupun mendapat kritik dari banyak pihak. Mencermati argumen dan alasan pemerintah, polemik tentang Ujian Nasional ini memang cukup pelik. Di satu sisi pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan kita melalui standarisasi kelulusannya, pemetaan kemampuan tiap sekolah dan daerah, serta memberi dorongan (paksaan) kepada siswa agar giat belajar, namun di sisi lain, sistem Ujian Nasional seperti ini di rasa tidak adil, memicu terjadinya kecurangan, stres, depresi dan tekanan mental bagi siswa, serta berbagai efek buruk lainya.

Penulis selama tiga tahun terakhir ini berkecimpung di dunia pendidikan. Membantu persiapan siswa yang hendak menghadapi Ujian Nasional. Dari pengalaman itu, penulis menemukan kenyataan bahwa sistem Ujian Nasional seperti ini memang belum layak dijalankan. Alasan utumanya tentu, karena kualitas pendidikan di tiap sekolah sangat-sangat berbeda. Selain itu, minat dan kesukaan siswa terhadap pelajaran juga tertentu saja. Beberapa contoh kasusnya adalah :

1. Ada sekolah yang guru mata pelajaran tertentunya kurang bisa menyampaikan materi dengan baik. Terbukti, try out Ujian Nasional mata pelajaran tersebut selama tiga kali berturut-turut menghasilkan nilai maksimal yang dapat diperoleh siswanya hanya 5. Artinya hampir seluruh siswanya hanya bisa mengerjakan kurang dari setengah soal. Ketika siswa yang les dengan penulis, penulis tanyai, mereka mengatakan bahwa guru di sekolah tidak terlalu jelas dalam menerangkan materi. Termasuk ketika membahas soal try out. Setelah itu siswa-siswa tadi memutuskan untuk menambah jadwal lesnya dengan penulis. Untuk siswa dari keluarga yang berada, tentu tidak repot untuk mendaftarkan anaknya di bimbingan belajar. Lalu bagaimana dengan siswa yang berasal dari keluarga miskin? Keluhan seperti ini tidak hanya sekali dialamatkan kepada penulis. Hampir semua siswa yang pernah penulis bantu belajarnya menyatakan bahwa guru di sekolah tidak bisa menerangkan dengan jelas. Ini membuktikan bahwa masih banyak sekolah yang kualitasnya (dalam hal ini termasuk kualitas gurunya) masih sangat rendah. Usaha pemerintah melalui sertifikasi guru dan lainya sepertinya masih belum membuahkan hasil.

2. Ketertarikan, minat atau kesukaan siswa umumnya hanya pada mata pelajaran tertentu saja. Ada siswa yang masuk kelas IPA karena sangat berminat dnegan pelajaran Biologi. Nilai pelajaran Biologinya selalu tinggi. Sangat menguasai hampir semua materi Biologi, namun untuk materi pelajaran Fisika, dia sangat lemah. Sama sekali tidak tertarik dan tidak berminat. Usaha apapun yang penulis lakukan untuk membuatnya menguasai materi Fisika sama sekali tidak manjur. Mau bagaimana lagi, dari anaknya sendiri tidak ada minat. Nah, dengan sistem Ujian Nasional seperti sekarang, siswa yang nilai mata pelajaran Biologinya 10 tetapi nilai Fisikanya kurang dari 4 tetap dinyatakan tidak lulus. Terasa kurang adil bukan?

3. Kata Ujian Nasional sekarang sudah menjadi momok yang mengerikan bagi siswa kelas tiga. Tidak semua memang, tetapi tetap saja ada beberapa siswa yang merasa tertekan, stres dan sebagainya. Apalagi jika orangtuanya bukannya menenangkan, malah memberi ancaman jika sampai anaknya tidak lulus.

Dengan kenyataan dilapangan seperti ini, penulis berharap pelaksanaan Ujian Nasional semakin diperbaiki lagi, bahkan hingga tataran paling bawah. Dari pihak pembuat keputusan seringnya beralasan demikian :

Sekarang Ujian Nasional bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan, prosentasenya 60% Ujian Nasioanal dan 40% dari pihak sekolah.

Meski demikian, tetap saja Ujian Nasional memiliki andil dalam menentukan kelulusan siswa. Dua contoh kasus di atas misalnya, jika di sekolah ada guru yang tidak kompeten, dan ia mengajar murid yang tidak berminat terhadap mata pelajaran tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa nilai si anak tidak akan cukup memenuhi kriteria lulus.

Lalu, apa solusi terbaiknya?

Sistem sekarang hanya bisa diterapkan jika kualitas pendidikan kita, mulai dari sistem, kurikulum, tanaga pengajar, buku-buku pendukung, sarana-pra sarana sekolah, dan sebagainya telah siap. Untuk menuju ke sana, dalam masa perbaikan sistem ini, maka syarat kelulusan yang lebih tepat adalah :

“Anak memiliki kecakapan khusus dalam minimal satu bidang kegiatan yang mampu membekalinya untuk menjalani kehidupan di masa depannya”opi

Jadi misalnya seorang siswa hanya menguasai matematika saja. Selainnya tidak. Itu cukup. Atau siswa hanya mengerti materi tentang ekonomi akuntansi saja. Tetapi materi lain tidak dikuasai, itu juga sudah cukup. Bahkan jika si anak tidak menyukai pelajaran, tetapi dia memiliki bakat seni yang luar biasa, atau dia memiliki prestasi di bidang olahraga, dan sebagainya, maka itu cukup menjadi syarat kelulusannya. Ini adalah syarat kelulusan SMA. Untuk SMK tentu dia harus menguasai bidang keahlian yang diajarkan di SMK tersebut.

Lalu untuk SD dan SMP? Syarat kelulusannya cukup bahwa sang anak mampu melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya.

Dengan demikian, siswa tidak akan tertekan, dia hanya perlu meningkatkan kemampuannya dalam bidang yang memang dia gemari. Sehingga lulusan-lulusan sekolah kita akan memiliki lulusan yang ahli di satu bidang (spesialis), bukan bisa di semua bidang tetapi tidak menguasai secara detail kesemuanya.


Beberapa link bermutu tentang kontroversi UN nih, klik aja ini, atau ini

Mar 12, 2011

Analisis sementara Reaktor Nuklir Fukushima 1

UPDATE 12-02-2011 19.15 CET:



JAEA (Japan Atomic Energy Agency) mengkategorikan kecelakaan Fukushima sebagai skala 4 dalam INES (International Nuclear and Radiological Event Scale), yaitu kecelakaan dengan konsekuensi lokal. Sebagai perbandingan, kecelakaan Chernobyl (1986) masuk ke skala 7 (paling tinggi), dan kecelakaan Three Miles Island (1979) masuk ke skala 5.

Tanggal 11 Maret 2011 terjadi gempa berskala besar dan tsunami yang melanda Jepang. Sehari kemudian terjadi ledakan pada PLTN Fukushima 1. Belum jelas apa yang terjadi sesungguhnya di sana. Akan tetapi saya akan coba untuk menganalisis berdasarkan pengetahuan saya. Tentunya analisis ini berdasarkan info yang diperoleh sampai saat ini dan kemungkinan bisa berubah seiring waktu.

Fukushima I unit 1 adalah PLTN bertipe BWR (Boiling Water Reactor) dengan daya listrik sebesar 460 MW (daya termal 1533 MW, dengan asumsi efisiensi termal 30%). Dibangun akhir tahun 60-an dan mulai beroperasi tahun 1970 (lebih tua dari saya...).

Baca Selengkapnya silahkan klik di sini

Analisis ini dibuat langsung oleh dosen Teknik Nuklir

sumber gambar dari sini

kelanjutan untuk dosis serapan radiasi bisa klik di sini

Cerita Langsung dari Saksi Gempa di Jepang


TOKYO, KOMPAS.com - Junanto Herdiawan, warga Indonesia di Jepang yang juga penulis Kompasiana, menuliskan pengalamannya merasakan gempa dahsyat disusul tsunami yang terjadi Jumat kemarin. Karyawan Bank Indonesia itu mengatakan bahwa gempa kemarin itu bukanlah gempa biasa, sebagaimana sering terjadi di Jepang.

Berikut penuturannya...

Selama satu tahun tinggal di Jepang, saya sering merasakan gempa. Hampir setiap bulan, Jepang diguncang gempa. Oleh karenanya, saya mulai terbiasa oleh gempa sporadis yang berulangkali terjadi. Biasanya saya akan tetap diam dan menunggu hingga gempa berlalu. Warga Jepang juga terbiasa dengan gempa. Mereka selalu terlihat tenang, setiap gempa mengguncang.

Tapi, gempa kemarin (11/3) sungguh beda. Itu bukan gempa biasa.

Saat guncangan pertama terjadi, saya merasakan getaran yang hebat. Tak lama, lemari di ruang kerja saya jatuh terbalik dan buku-buku bertebaran. Saat itu saya sedang berada di kantor yang berlokasi di lantai 9 sebuah gedung di daerah Marunouchi, Tokyo.

baca selengkapnya di sini

Mar 9, 2011

Logika Matematika Sederhana

Premis 1 : Jika A maka B
Premis 2 : Jika B maka C
kesimpulan : Jika A maka (sudah pasti) C

contoh 1
Premis 1 : Jika rajin belajar, maka akan pintar
Premis 2 : Jika pintar, maka akan lulus ujian
kesimpulan : jika rajin belajar, maka akan lulus ujian

contoh 2 :
Premis 1 : setiap muslimah, wajib shalat
Premis 2 : setiap shalat, wajib menutup aurat
kesimpulan : setiap muslimah wajib menutup aurat


Firman Alloh, dalam Qur'an surat An-Nur ayat 31


dan dalam surat Al Ahzab ayat 59 Alloh berfirman

Mar 8, 2011

Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 01)

“Ya Alloh, udah jam 7 pagi. Kenapa tadi aku bisa tidur lagi habis shalat subuh...... huff.... aku kan ada janji ngantar Bu Rahma ke puskesmas, harus cepat-cepat bersiap ni”. Aku segera beranjak dari tempat tidur, bersiap-siap secepat mungkin. Ku kenakan rok hitam panjang dan gamis coklat polos serta jilbab dengan warna coklat muda. Sekalian kubawa perlengkapan kuliahku, nanti setelah mengantar Bu Rahma, aku berencana mau langsung ke kampus. Ku keluarkan sepeda motor maticku, dan tanpa sempat ku cuci setelah semalam kehujanan, kukendarai secepat mungkin ke rumah Bu Rahma. Rumah Bu Rahma sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi jam segini jalanan pasti padat. Jadwal Bu Rahma menjadi moderator semacam acara seminar di Puskesmas adalah jam 9. tentu sangat konyol kalau sampai beliau terlambat. Alhamdulillah, jalanan yang ku lalui tidak terlalu padat, bahkan di beberapa perempatan aku tidak terjebak lampu merah.

“Assalamu'alaykum” terdengar bunyi salam ketika ku pencet bel rumah Bu Rahma. Ku lirik jam tanganku, “semoga masih sempat”.

Bu Rahma keluar dengan menggendong Faqih, bayinya yang masih belum genap berumur setahun, dan Haniya, anak pertamanya yang belum sekolah mengikuti ibunya dari belakang.

“Assalamu'alaykum kak Dewi.........” Bu Rahma mengucapkan salam dengan mengajarkan memanggilku “kak” kepada anak pertamanya. Haniya pun mengikuti kata-kata ibunya sambil berlari dan membukakan pintu gerbang -yang aku bantu mendorongnya-, kemudian dia menyalami dan mencium punggung tanganku.

“Wa'alaykumussalam........dek Haniya pintar banget, mbukain pintu buat kakak” jawabku sambil mengusap lembut jilbab kecilnya.

“Langsung berangkat yuk kak, udah hampir telat”

Aku segera bersiap dengan sepeda motorku. Haniya berdiri di depan. Sepanjang perjalanan Haniya banyak bercerita dan mengatakan macam-macam. Aku tak habis pikir, anak sekecil ini sudah memiliki perbendaharaan kata yang sedemikian banyak. Kalau belum mengenal Bu Rahma, pasti aku akan sangat penasaran dengan cara mendidik anak ini.

Tiba di puskesamas pukul 8.50, Alhamdulillah tidak terlambat. Tetapi para peserta seminar, yakni Ibu-ibu di sekitar puskesmas, beberapa mahasisiwi dari jurusan gizi dan kesehatan, serta pemateri utama, seorang dokter ahli gizi sudah hadir. Acara ini sebenarnya ide dari LSM yang didirikan Bu Rahma beserta suaminya. Dilatarbelakangi oleh keprihatinan beliau terhadap kekurang pahaman masyarakat akan pentingnnya pemberian makanan yang tepat bagi bayi dan balita. Ide ini disampaikan ke pihak puskesmas, dan puskesmas pun memfasilitasi dengan menyediakan tempat dan sarananya, sedangkan biayanya, murni dari LSM. Ibu-ibu yang diundang sebenarnya tidak hanya yang berada di sekitar puskesmas. Tetapi juga dari desa-desa sebelah. Tetapi sepertinya tidak semua yang diundang bisa hadir. Terlihat banyak kursi kosong yang ku perkirakan hampir setengahnya.

Acara dimulai tepat pukul 9. Bu Rahma membuka acara. Menjadi MC sekaligus moderator. Selain bertugas mengantar Bu Rahma, aku juga diminta menemani Haniya dan Faqih. Aku duduk di barisan belakang, menggendong Faqih. Haniyah duduk di sebelahku. Matanya fokus memandang ibunya yang sedang berbicara. Seakan-akan ia paham betul apa yang Ibunya sampaikan. Sekali lagi aku bersyukur, Faqih sedang tidak rewel. Meskipun dia tidak sedang bobok. Ketika acara diserahkan kepada Dokter ahli gizi -yang baru aku ketahui namanya Dokter Ana-, beliau menyampaikan tentang pentingnya pemberian ASI pada 6 bulan pertama sang bayi, tanpa memberi makanan tambahan apapun. Dan tetap memberikan ASI hingga anak usia dua tahun. Dokter Ana juga menyampaiakan makanan-makanan tambahan yang boleh dan yang tidak boleh diberikan ke anak berusia diatas 6 bulan hingga 2 tahun, sekaligus menjelaskan kandungan-kandungan yang terdapat pada bahan makanan tersebut. Ketika beliau menyebukan istilah-istilah seperti karbohidrat, protein, mineral dan sebagainya, Haniya berulang kali menarik jilbabku dan menanyakan artinya. Aku agak kewalahan juga menjawabi semua pertanyaannya. Takut jika jawabanku nanti menimbulkan pertanyaan baru yang tidak bisa aku jawab, aku kan tidak kuliah di bidang gizi dan kesehatan. ^_^

Acara berakhir sekitar pukul sebelas. Kami segera pulang ke rumah Bu Rahma. Sesampainya di rumah, Bu Rahma mempersilahkan aku masuk. Aku sempat menolak dengan alasan mau ke kampus. Tetapi tawaran Bu Rahma untuk makan siang dulu tak bisa ku tolak. Makanan di rumah Bu Rahma memang tidak terlalu istimewa, tetapi sangat enak. Kali ini beliau masak nasi sayur bothok dengan lauk karak, tempe dan tahu. Aku makan dengan ditemani Haniya yang juga makan dengan lahap. Sedangkan Bu Rahma menggendong Faqih sambil -sepertinya- beberes di belakang. Ketika Bu Rahma ke ruang makan, aku sudah selesai makan, dan aku tak tahan lagi untuk tidak menyampaikan uneg-unegku.

“Maaf Bu sebelumnya, boleh saya bertanya?”

“Kenapa pakai maaf segala? Kamu ini kayak sama siapa saja” Bu Rahma mengambil tempat duduk di depanku, sambil tersenyum, beliau melanjutkan, “mau tanya apa sayang?”

“Bu, sekali lagi maaf, tapi saya tidak tahan untuk tidak mengatakannya” aku mengambil nafas sejenak, “Dari dulu saya tidak habis pikir, suami Ibu dosen dan punya jabatan tinggi di kampus, Ibu dan suami juga memiliki beberapa usaha yang saya perkirakan penghasilannya besar, tetapi Ibu malah menggunakan uang hasil jerih payah Ibu dan suami Ibu untuk sesuatu yang.....bersifat sosial” -aku sempat bingung untuk memilih kata terakhir itu-. Melihat Bu Rahma yang hanya tersenyum dan sepertinya belum ingin memotong pembicaraanku, akupun kembali melanjutkan, “Dan itu jumlahnya tidak sedikit. Berbeda dengan orang tua dari teman-teman saya yang juga seperti Ibu”.

“Maksudmu, orang kaya begitu?” kali ini Bu Rahma memotong pembicaraanku.

“Iya, maksud saya orang tua temen-temen saya yang kaya” jawabku dengan agak malu, “Em....mereka lebih banyak menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, baru sisanya, atau sebagian kecilnya yang didermakan untuk kepentingan sosial. Sedangkan Ibu, memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sederhana ini, alih-alih perumahan bagus yang saya yakin Ibu mampu membelinya. Juga memilih mendonasikan sebagian besar harta Ibu untuk kegiatan LSM, atau kegiatan masjid, daripada untuk membeli perabot rumah, membeli mobil, atau untuk tamasya keluarga ke luar negeri, seperti yang sering teman-teman ceritakan ke saya tentang pengalamannya jalan-jalan keluar negeri”. Aku berhenti, menunggu jawaban Bu Rahma dengan penuh rasa penasaran.

“Begini sayang, ketika hendak menikah dulu, Ibu dan suami Ibu sudah saling berjanji, bahwa harta kami nanti akan kami gunakan untuk kepentingan umat. Kami memiliki kesepahaman, dan cita-cita yang sama, sehingga kami tidak merasa keberatan dengan semua ini. Harta itu hanya titipan dari Alloh, kelak di akherat kita akan ditanyai, kita gunakan untuk apa harta yang telah Ia titipkan? Dan pernyataanmu tadi, bahwa orang-orang memilih untuk lebih banyak menggunakan harta hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, sebelum digunakan untuk kepentingan sosial, kami pun juga melakukannya. Dan inilah kebahagiaan kami, ketika kami bisa memberikan yang terbaik bagi umat.”

Sekali lagi aku dibuat takjub dengan jawaban beliau. Bagi kami yang masih mahasiswa ini, mungkin idealisme seperti Bu Rahma dan suaminya wajar didengar. Tetapi ketika benar-benar sudah memiliki harta yang banyak, tidak banyak yang bisa bertahan dengan idealismenya. Ketika masih disibukkan dengan pikiranku sendiri, suara Bu Rahma agak mengejutkanku.

“Besok, kalau Dewi mau menikah, carilah suami yang mementingkan urusan agama dan umat, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya”

“Tetapi, bagaimana saya mencarinya Bu? Bukankah fitrahnya wanita itu menunggu ada pria yang datang melamar?”

“Memang benar begitu sayang, tetapi Alloh sudah menasehati para wanita, jika kamu menginginkan suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik pula. Sudah menjelang Dzuhur, kamu mau shalat di sini atau di kampus?” Bu Rahma beranjak dari tempat duduknya.

“Eh, saya ke kampus saja Bu, ada rapat ba'da dzuhur. Terimakasih banyak Bu atas jamuan makan siang dan diskusinya” Aku pun beranjak ke depan, Haniya mendahuluiku dan membukakan pintu.

“Hati-hati ya kak, kapan-kapan main ke sini lagi” Sebelum aku menjawab permintaan Haniya, Bu Rahma keburu menambahkan

“Ibu yang seharusnya berterima kasih, kamu telah banyak membantu Ibu”

“Ah, Ibu, jangan sungkan begitu. Saya jadi malah merasa tidak enak. Kalau ada apa-apa lagi yang bisa saya bantu, saya bersedia membantu dengan senang hati”

“Sementara ini cukup sayang, hati-hati di jalan”

“Iya Bu, saya pamit. Dek Haniya, kakak pulang dulu ya!, Assalamu'alaykum”

“Wa'alaykmussalam warohmatullohi wabarokatuh” Jawab Bu Rahma dan Haniya kompak.

“Dadah............” lambaian tangan Haniya pun mengantar kepergianku.