Ketika ada yang mengkritik anda, atau pandangan politik anda, atau agama anda, atau tradisi anda, atau pilihan hidup anda, coba pahami esensi kritikan itu, sebelum anda memutuskan untuk memberikan reaksi.
Ketika ada yang mempertanyakan, mengapa memakai cadar, bukankah itu malah membuat kecurigaan dan sulit utk mengenali? esensinya adalah pada timbulnya kecurigaan, maka bantahlah dengan argumen yang menegasikan argumenya. Bukan malah marah-marah dan mengatai si pengritik tidak paham agama.
Jika ada yang mengkritik pelaksanaan ibadah sholat tarawih yang dirasa terlalu cepat, maka sampaikanlah argumen anda tentang cepat atau lambatnya pelaksanaan ibadah tersebut, bukan malah menganggap si pengkritik menolak tarawih bersama dengan jamaah anda.
Ketika ada yang menanyakan mengapa anda bersikap keras kepada lawan politik dan lembut kepada sesama pendukung parpol tertentu saat keduanya melakukan kesalahan yang hmpir sama, maka sampaikan pendapat anda mengenai perbedaan kesalahan kedua org tersbut, bukan mengatai si pengkritik sebagai org udik yang gak ngerti apa-apa.
Ketika ada yang mengkritik kebiasaan anda yang suka merokok dengan alasan tidak suka menghirup asap rokok anda, maka esensinya adalah asap rokok anda yang mengganggunya, maka sampaikanlah bahwa anda tidak akan merokok di dekatnya, bukan malah berpanjang lebar menjelaskan bahwa tanpa rokok anda tidak bisa berfikir jernih dan seterusnya.
Sayangnya, kita cenderung lebih mengedepankan ego, menganggap kritikan sebagai sebuah upaya mendiskreditkan. Padahal bisa jadi, si pengkrtik memang tidak paham ilmunya, tidak mengerti duduk permasalahanya dan tidak tau kondisinya.
Maka membatah dengan argumen yang sesuai dengan esensi kritikan akan membuat si pengkritik dan pelaku berada pada level pemahaman yang sama. Sebaliknya, marah-marah dan mengata-ngatai pengkritik malah semakin membuat si pengritik semakin merasa dia yang paling benar.
Renungan tengah malam
22-04-2018
No comments:
Post a Comment