Panduan menggunakan Blog ini :D

Pembaca yang budiman, silahkan isi kolom komentar dan memulai diskusi pada setiap postingan. Semakin ramai semakin semangat saya dalam mengelola blog ini. Selamat menjelajahi seluruh isi blog. ^_^.

Jan 19, 2018

Darurat Literasi.


Sebagai aktivis jual beli online, saya sering gregetan menemui pembeli atau calon pembeli yang menanyakan sesuatu padahal hal itu sudah jelas-jelas tercantum di informasi barang. Awalnya saya hanya menganggap orang orang ini sekedar malas membaca detail.

Begitu pula dalam keseharian bersosial media, banyak sekali saya jumpai orang orang yang sekedar membaca judul kemudian menulis di kolom komentar. Dari komentarnya jelas sekali menunjukkan kalau dia tidak membaca isi berita. Kebiasaan ini yang kemudian membuat banyak media (baik mainstream maupun abal-abal) membuat berita dengan judul judul bombastis. Sampai di sini saya masih menganggap bahwa mereka hanya sekedar malas membaca detail.

Kemudian ketika menemui orang - orang yang protes mengenai sistem KPR di mana mereka baru menyadari sistem tersebut setelah sekian lama proses kredit berlangsung, padahal jelas-jelas semua tertulis di perjanjian atau akad jual beli. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa mereka malas membaca detail.

Ketika mengurus balik nama motor di kantor samsat, mengurus BPJS di kantor BPJS, atau mengurus surat pindah penduduk di Disdukcapil, saya juga menemui orang orang yang kebingungan akan alur atau proses nya padahal semua terpampang dan tertulis jelas di papan pengumuman. Saat itu saya mulai khawatir, jangan jangan bukan sekedar malas membaca detail, tapi juga malas membaca dan meresapi maksud bacaan tersebut.

Lalu, ketika membaca berita di media bahwa ada puluhan Customer Lazada yang protes dan meminta uang nya dikembalikan gara-gara mengira tempered glass 100 pcs adalah handphone, saya menjadi yakin bahwa masalah kita bukan sekedar malas membaca detail. Tetapi lebih parah dari itu. Sungguh, bangsa ini sedang mengalami apa yang disebut dengan darurat literasi.

Jan 18, 2018

Menasehati Dengan Kekerasan


Pernah kah anda melihat seseorang yang sedang berupaya menasehati, baik di dunia nyata maupun di media sosial, menggunakan pilihan kata dan bahasa yang kasar dan tidak sopan?

Semisal, "Eh, elu kalo kebanyakan maksiat, trus Allah turunkan azab, yang mampus bukan elu aja monyong!" atau "kalian kalo masih suka mabok mending minggat saja dari kampung sini" atau "Dasar antek kafir, ini itu demi memperjuangkan agama mu juga, gak malu tuh di KTP nulis islam?"
dan sebagainya.

Mari difikirkan dengan jernih, apakah kata-kata di atas akan membuat lawan bicara tersadar, kemudian tergerak hatinya untuk meninggalkan maksiat dan membantu perjuangan agama? saya rasa tidak. Kata-kata tersebut malah akan menjadi kontraproduktif, bahkan dapat memicu terjadinya konflik yang lebih besar, perkelahian dan kebencian misal. Tentu bukan itu yang kita harapkan bukan?

Begitupula dalam menasehati anak. Ucapan kasar dengan nada tinggi kepada anak, meski dengan maksud yang baik, tidak akan efektif membuat anak mengikuti saran atau nasehat kita. Alih-alih patuh, anak malah akan semakin membangkang. Kebanyakan orang tua mungkin tidak menyadari bahwa ketidakpatuhan anaknya bukan karena mereka kurang keras mendidik, tapi karena mereka terlalu keras.

Menasehati anak dengan kata kata yang baik, lembut, penuh kasih sayang, akan membuat anak mengikuti nasehat kita atas kesadaran sendiri. Sehingga di kemudian hari, kita tidak perlu repot-repot menasehatinya secara berulang.

Tetapi, bagaimama jika anak tetap tidak mau patuh dengan nasehat yang lemah lembut? Bukankah hal itu akan membuat orang tua emosi dan kembali marah? Di situlah ujian kesabaran orang tua. Saya pribadi sering menjumpai anak saya enggan mengikuti saran saya dan istri. Tapi kami tidak pernah memarahi atau membentak-bentak nya. Kami selalu memutar otak hingga akhirnya menemukan cara untuk memahamkan anak kami.

Kitalah sebagai orang tua, yang mestinya paham motede apa yang paling efektif dalam menasehati anak. Karena bisa jadi, metode kami efektif diterapkan kepada anak kami, tapi tidak pada anak orang lain.

Jan 11, 2018

Asumsi Dalam Komunikasi

Dalam kerjaan-kerjaan Engineering, menggunakan asumsi itu merupakan tuntutan pekerjaan. Ada banyak informasi yang diperlukan tetapi data yang akurat tidak semuanya tersedia. Bertanya atau menunggu agar memperoleh data yang akurat tidak begitu disarankan karena dapat menganggu project schedule, terkecuali kita yakin dapat tetap mempertahankan on time delivery saat menunggu jawaban atau data yang akurat.

Berbeda dalam kehidupan berumah tangga, menggunakan asumsi sangat tidak disarankan karena dapat menganggu keutuhan rumah tangga. Tidak percaya? Berikut contoh kasusnya:

1. Suami berangkat kerja, lihat istrinya masak. Istri masak dipamitin suami yang bilang, "Ma, aku ntar lembur lagi ya"'.
Jam 11 malam suami sampai rumah, tak ada makanan, nasi sebutir pun tak ada, stok beras pas habis. Bangunin istri, "Ma, tadi mama masak kan?". Istri yg masih mengerjapkan mata sontak terkejut, "Papa belum makan? yaah...kirain makan di kantor apa di jalan, tadi sisa makananya mama kasih ke satpam karna masakan mama gak bisa buat besok pagi".
Akhirnya, sang suami keluar rumah lagi nyari warung yang masih buka.

2. ‎Istri lagi hamil, saat suami hendak pulang kerja, istri berpesan lewat aplikasi chating, "abi, ntar pulang mampir warung bisa? tolong beliin kacang ijo buat cemilan dan sate buat makan malam, abi klo mau makan malam yang lain ya gak papa, umi gak masak tadi".
Sesampainya di rumah, sang suami membawakan bubur kacang hijau dan sate ayam tanpa nasi atau lontong.
"Lho kok bubur kacang hijau? maksud umi kacang hijau yang buat cemilan, yang langsung dimakan, temennya kacang atom atau kacang oven, trus ini kok gak pake lontong? di rumah kan gak ada nasi. Umi gak masak".
Dengan entengnya sang suami menimpali, "coba baca lagi chat umi tadi minta dibeliin apa?"

3. "Yah,,klo tak lihat lemari baju kita kok penuh banget ya? banyak baju baju lama dan gak pernah dipakai, gimana kalau kita sumbangkan saja, biar legaan".
"Iya...bunda atur aja, tapi ayah gak bantuin gak papa ya, kerjaan ayah banyak"
Beberapa hari kemudian
"Bunda, lihat baju jersey bola warna biru? kok gak ada ya?"
"Kan kemarin habis disumbangin baju baju yang gak pernah dipakai"
"Haaa.....?? jersey asli bolaku ikut disumbangkan? kamu tau itu belinya di mana? harganya berapa?"
"Nanti bunda beliin lagi di pasar deh, pake uang bunda"
"......%*¢£¥&#€..."

Ketiga contoh kasus di atas sebenarnya tidak perlu terjadi ketika sang suami atau istri membuang asumsi dan membuka komunikasi. Apa susahnya mengirim pesan, menelepon, dan bertanya,
"Ma, meski pulang malam Papa ntar makan di rumah ya",
"Pa, makanan di rumah habis",
"Mi, ini pesanan umi kan? (sambil kirim foto)",
"Bi, jangan lupa nitip kacang hijau, beli di ****mart, harganya sekian, sama sate dan lontongnya, beli di warung dekat rumah saja, harganya sekian",
"Yah, ini ya baju yang disumbangin",
"Bunda, kaos jersey yang biru itu jarang ayah pake tapi jangan disumbangin ya".

Nah, jadi menghindari asumsi dalam berkomunikasi itu tidak terlalu susah bukan?



Jan 9, 2018

Hitam, Putih dan Abu abu


Mayoritas pilihan di dunia ini tidak sekedar hitam putih, tidak pasti benar dan pasti salah, tidak bisa disebut satu pilihan selalu baik dan pilihan lainnya selalu buruk. Alih alih demikian, pilihan - pilihan dalam hidup ini umumnya memiliki manfaat dan kerugian sekaligus. Sehingga, bisa jadi pada satu waktu pilihan A lebih baik daripada pilihan B dan di waktu lain pilihan B yang lebih baik. Begitu pula, bisa jadi pilihan A lebih baik pada seseorang, akan tetapi tidak bagi orang lain. Orang lain lebih tepat memilih pilihan B. 

Hal ini berlaku di banyak hal dan kesempatan, termasuk dalam mendidik dan membesarkan anak. Di sosial media sering sekali saya baca, perdebatan antara ASI eksklusif vs susu formula, Ibu rumah tangga vs ibu bekerja, mengajar anak calistung saat balita vs setelah balita, memasukkan anak ke PAUD vs tidak menyekolahkan anak sebelum 5 tahun, membiarkan anak bermain gadget sepuasnya vs tidak mengijinkan anak bermain gadget sama sekali, mencekoki anak hafalan Al Qur'an di usia balita vs menunggu anak dapat melafalkan huruf arab dengan baik baru mengajarkan hafalan, memiliki banyak anak vs membatasi jumlah anak, dan banyak lagi. Masing masing mengutarakan argumen nya dari sudut pandang pribadi, sehingga bisa jadi pendapat dia tepat untuk dirinya dan anaknya, tapi tidak untuk orang lain dan anak orang lain.

Kemudian, beberapa emak emak galau setelah membaca perang argumen tersebut, bingung memutuskan apa yang ingin diterapkan kepada anaknya. Padahal, sejatinya, orang tua lah yang lebih paham dan lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi anaknya. Orang tua lah yang paham situasi dan kondisi secara lengkap dan menyeluruh. Orang tua lah yang memahami minat, bakat dan kecenderungan sang anak. Orang tua lah yang mengetahui apakah efek buruk yang dikhawatirkan orang lain atau yang terjadi pada anak orang lain berlaku pula kepada anaknya. Sehingga, pendapat orang lain seharusnya tidak dijadikan panutan yang serta merta langsung diikuti. Cukup dijadikan bahan pertimbangan. 

Setelah mengambil keputusan dengan mempertimbangkan banyak hal, tidak perlu lagi memusingkan komentar orang, jangan kembali galau hanya karena keputusan tersebut tidak sesuai dengan kemauan tetangga, teman atau bahkan orang tua dan mertua. Yakinkan pada diri sendiri bahwa "saya lah yang lebih paham mana yang terbaik buat anak saya". Meskipun, ini bukan berarti menutup diri dari saran dan masukan pihak lain, tetapi mengokohkan diri untuk tidak sekedar mengikuti apa kata orang.

Begitu pula, sebagai "orang lain", kita tidak semestinya mengomentari apa yang diterapkan oleh rekan, tetangga, kenalan, bahkan seseorang yang kita tidak kenal, kepada anak-anak nya. Kita tidak tau apa pertimbangan mereka, latar belakang, pola pikir, dan alasan mereka. Sekedar memberi saran atau masukan boleh saja, tapi tidak untuk menghakimi, mencela atau menyalahkan keputusan orang lain terhadap anak-anaknya

Semoga dengan demikian tidak ada lagi perang argumen dan emak emak galau di jagat dunia maya.