Panduan menggunakan Blog ini :D

Pembaca yang budiman, silahkan isi kolom komentar dan memulai diskusi pada setiap postingan. Semakin ramai semakin semangat saya dalam mengelola blog ini. Selamat menjelajahi seluruh isi blog. ^_^.

Mar 7, 2011

Pantaskah Mereka Disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

seorang Guru atau seorang pengajar di negara kita mendapat sebutan yang sangat luar biasa, yakni "pahlawan tanpa tanda jasa". Tetapi apakah memang pantas sebutan itu kita alamatkan untuk semua orang yang berprofesi sebagai guru atau pengajar? sepertinya kita harus melihat dulu bagaimana cara guru tersebut dalam menyampaikan ilmunya kepada anak didiknya. selama lima tahun berkutat di dunia pendidikan, saya menemukan banyak kisah, baik yang diceritakan langsung oleh murid-murid saya maupun melalui perantara orang lain.


Kisah yang paling umum adalah ketidakpuasan murid saya dengan penjelasan gurunnya di sekolah, terutama guru fisika. hampir semua murid SMA yang pernah saya ajar mengatakan bahwa guru mereka tidak bisa menjelaskan dengan baik setiap materinya. mereka tidak memiliki gambaran tentang teori tersebut, sehingga mereka hanya sekedar menghafal rumus, tanpa tau bagaimana rumus itu dipakai dalam menyelesaikan soal. bahkan mereka juga tidak memahami arti beberapa istilah dalam palajaran fisika tersebut alih-alih dapat memberikan contohnya dalam kehidupan sehari-hari.

sedangkan kasus lain yang cukup memprihatinkan saya rangkum sebagai berikut :


1. seorang guru les pernah bercerita kepada saya, bahwa muridnya bercerita kepadanya, guru di sekolah murid tersebut gajinya per bulan adalah 8 juta. namun kerjaannya di kelas hanyalah memberikan soal untuk dikerjakan murid, menyuruh murid merangkum materi, atau apapun (dia sangat jarang menerangkan materi jika tidak ada murid yang bertanya, kalaupun ada yang bertanya penjelasannya tidak selalu dimengerti), lalu ketika murid-muridnya mengerjakan tugas, apa yang guru itu kerjakan? murid tersebut bercerita bahwa sang guru bermain-main dengan BlackBarrynya.

2. Saya memiliki murid dari sebuah sekolah swasta Nasional plus, yakni sekolah bilingual yang menggunakan kurikulum luar negri. buku teksnya menggunakan buku terbitan Singapura. Hari itu murid saya datang dan kami mempelajari materi tentang "Sound Wave", kemudian membahas soal-soal yang ada di buku tersebut. Pada pertemuan berikutnya, murid saya bercerita, ketika di sekolah membahas chapter yang sama, sang guru meminta murid-murid mengerjakan soal yang ada di buku. kemudian salah seorang teman muridku menanyakan sebuah soal yang tidak dia pahami maksudnya (soalnya kan dalam bahasa inggris). sang guru mencoba menjelasakan, dan penjelasannya berbeda dengan penjelaan saya ketika les. kemudian murid-murid yang lain meminta sang guru untuk menyelesaikan soal itu (termasuk menyelesaikan perhitungannya, tidak hanya menjelaskan maksud soal), murid les aya masih diam saja (karena memang dia pendiam). sang guru pun menghitung di papan tulis, dan jawaban akhirnya tidak terdapat di pilihan jawaban yang tersedia. sang guru tampak bingung, dan kemudian berkata pada murid bahawa soal salah. murid saya segera mengangkat tanganya, kemudian mengatakan bahwa dia bisa menghitung dan jawaban akhirnya ada di pilihan jawaban. sang guru menyilahkan dia maju. ia pun mengerjakan di papan tulis persis dengan penjelasan saya ketika dia les. setelah dia selesai dan pilihan jawabanya ada, persis sama dengan kunci jawaban di halaman terakhir buku tersebut (untuk soal latihan, buku dari luar negri selalu memberikan nilai jawaban akhir di bagian belakang buku, tentu tanpa disertai langkah-langkahnya) sang guru pun menyuruh murid-murid lain mencatat hasil pekerjaan tersebut.
permasalahan di sini bukan sekedar sang guru melakukan kesalahan, soal itu ada di buku teks. jika dia adalah guru yang cerdas,profesional dan bertanggung jawab terhadap profesinya, tentu dia akan mempelajari dulu soal-soal yang ada di buku teks. sehingga jika dia mengalami kesulitan, dia dapat mencari solusinya terlebih dahulu. hal ini akan meminimalisisr kesalahan guru di depan murid. pertanyaan saya pada saat itu adalah, "Apa yang dilakukan guru itu di rumah jika tidak mempelajari terlebih dahulu buku teksnya?"

3. Dua murid SMA kelas 3 sebuah sekolah swasta di Jakarta protes kepada saya. Rumus singkat pada materi Dinamika Rotasi yang saya berikan kepada mereka untuk menghadapi Ujian Nasional disalahkan oleh guru mereka. Sang guru mengajarkan bahwa untuk mencari percepatan cukup menggunakan rumus biasa (dari hukum Newton untuk Dinamika Translasi). Saya pun menjelaskan bahwa pada materi Dinamika Rotasi tidak cukup jika hanya menggunakan hukum Newton pada Dinamika Translasi, harus disertakan pula hukum Newton untuk Dinamika Rotasi. saya tunjukkan buku-buku yang menggunakan rumus singkat seperti yang saya ajarkan untuk menyelesaikan soal Dianmika Rotasi. kedua murid saya mengangguk-angguk, tapi kemudian kembali mengatakan bahwa guru mereka menyindir kalau guru les itu hanya bisa mengajarkan rumus singkat tanpa bisa menjabarkan dari mana rumus itu diperoleh. Agak sakit hati juga dibilang seperti itu, maka sayapun menjelaskan secara panjang lebar mengenai penurunan rumus singkat itu. mereka mencatatnya dengan rapi. Pada pertemuan selanjutnya, mereka bercerita, ketika mereka menjelaskan hasil penurunan rumus dari saya kepada sang guru, ia pun menyuruh mereka mencatat di papan tulis agar dapat dicatat teman-teaman yang lain.
Permasalahan di sini lagi-lagi bukan tentang guru yang melakukan kesalahan, tapi bagaimana cara dia menanggapi perbedaan pendapat. guru yang baik ketika menemui perbedaan pendapat antara dirinya dengan murid (yang biasanya melanjutkan apa yang diaktakan guru les) tidak akan serta merta menyalahkan murid dan membenarkan dirinya, tetapi menanyakan dengan detail pendapat sang murid, kemudian dianalisis, apakah pendapat itu memiliki kelemahan? ataukah malah pendapatnya yang salah? apalagi kata-kata sang guru yang langsung menjudge bahwa guru les hanya bisa mengajarkan rumus singkat tanpa bisa menjelaskan penurunan rumus menunjukkan bahwa sang guru tersebut bukan guru yang bijak.

4. Mirip dengan poin nomor dua, seorang murid SMP kelas tiga protes lagi dengan saya. tiga soal teori untuk persiapan Ujian Nasioanal yang saya ajarkan berbeda dengan penjelasan guru di sekolah. soal itu adalah soal latian yang dibuat atau disusun sendiri oleh sekolah. saya pun menagmbil buku-buku dan menunjukkan bahwa penjelasan dari saya sesuai dengan yang ada di buku teks. bahkan tidak hanya satu buku yang saya ambilkan.

5. Awalnya hanya ada tiga murid kelas 1 SMA dari sebuah sekolah swasta yang les di BLC (tempatku mengajar), tetapi ketika ketiga murid itu menunjukkan prestasi yang bagus di kelasnya, kini sudah ada tujuh murid dari kelas tersebut yang les di BLC. salah satu dari ketujuh murid itu bercerita, kalau setiap ulangan matematika, nilai terbaik selalu dimiliki oleh mereka bertujuh. bahkan ketika membahas soal-soal ataupun sang guru menanyakan sesuatu, hanya ketujuh orang itu yang bisa menjawab. mendengar cerita itu, Pricipal (manajer cabang) di tempatku mengatakan, "bisa jadi nanti satu kelas ke sini semua". :) menurut saya, alasan kenapa sampai saat ini hanya ada tujuh orang, itu hanya karena masalah jarak, umumnya murid dari sekolah tersebut les di bimbel yang dekat dengan rumah/sekolahnya. sedangkan lokasi BLC agak jauh.
Permasalahan di sini adalah, dalam satu kelas, jika yang bisa mengerjakan soal hanya sekelompok murid yang mengikuti bimbel di luar, kesimpulannya adalah, sang guru tidak cukup cakap mengajarkan/mentransfer ilmunya kepada murid. yang disayangkan adalah, sang guru tidak berusaha untuk mengembangkan diri atau mengubah metode mengajarnya

6. Seseorang pernah bercerita pada saya bahwa dia pernah memergoki guru-guru dari sebuah sekolah masuk ke diskotik pada malam minggu, dan itu tidak hanya sekali saja ia lihat.

ini baru beberapa, sebenarnya masih banyak yang lain, tapi takut terlalu panjang dan membuat bosan. jika ada yang berminat dan merequest untuk menuliskan tentang kisah guru-guru yang lain, maka akan saya ceritakan.
Nah, jika untuk guru-guru pada kisah-kisah di atas, masih layakkah mereka mendapat sebutan mulia sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?
NB : gaji guru di Jakarta, baik negeri apalagi swasta terkenal itu tidak tanggung-tanggung lho.

12 comments:

yunita said...

hm...that's interesting stories. heran jg aq fiq, murid2ku juga pada mengeluh tentang guru2 mereka. baik itu dr sekolah favorit maupun yg biasa2 saja. what's wrong with Indonesian teachers today?

Hafiq said...

nah, itulah yang harus kita cari akar permasalahannya kemudian kita ikut berkontribusi memperbaikinya.

Joulecar said...

manteb mas.....
kelemahan orang indonesia (bukan cuma guru) adalah ketika mereka puas dengan ilmu yang mereka miliki dan ga mau mengembangkan untuk saling berbagi....

Hafiq said...

ditambah lagi soktau
hahaha :D

^_^v
sering-sering mampir sini ya dek :)

hayutyas said...

bagaimana denganmu fiq?
pantaskah disebut pahlawan tanpa tanda jasa

dudududu...lalalalalala..

*muka polos

Hafiq said...

Belum Yu, belum pantes aku :)

Jingga said...

Request cerita guru TI yg ngajar di SMK.... Makasih

Jingga said...
This comment has been removed by the author.
wiwik said...

tanpa menafikan jasa para pendidik, kritik yang bagus, gerah dengan ulah guru ( yang tidak bisa lagi disebut oknum, karena mayoritas ) yang lebih mengejar imbalan ( sertifikasi, penyimpangan bos, pungli ) daripada mendidik siswa2nya.
semoga kilau materi dan silau dunia tidak melunturkan semangat hafiq dalam menyampaikan ilmu... ^^

Hafiq said...

@Jingga : maaf, tidak berpengalaman sebagai guru TI. hehe

@Wiwiek : sayangnya, saya sudah beralih profesi, sudah tidak menjadi guru lagi :(

Anonymous said...

Saya mau posting pengalaman sendiri boleh ga?

Hafiq said...

tentu saja boleh, silahkan...