Panduan menggunakan Blog ini :D

Pembaca yang budiman, silahkan isi kolom komentar dan memulai diskusi pada setiap postingan. Semakin ramai semakin semangat saya dalam mengelola blog ini. Selamat menjelajahi seluruh isi blog. ^_^.
Showing posts with label Parenting. Show all posts
Showing posts with label Parenting. Show all posts

May 29, 2018

Dilema itu Bernama Anak Tetangga

Akhir-akhir ini saya menemui beberapa kasus yang membuat saya merasa prihatin, karena ada beberapa orang tua yang dari segi usia, fisik, mental dan keuangan sudah siap menikah, tapi belum siap dari segi keilmuan.

Lebih memprihatinkan lagi, saat menjalani pernikahan, tidak ada daya dan upaya untuk meng-upgrade keilmuan tentang rumah tangga, termasuk di dalamnya adalah ilmu parenting.

Memiliki anak yang sopan, beradab, sholeh, cerdas, berbakti, dan berbagai atribut positif lain adalah keinginan semua orang tua. Tetapi apakah semua orang tua kemudian belajar bagaimana cara mendidik anak agar bisa memiliki semua atribut positif tadi? sayangnya tidak.

Tetangga saya, punya anak balita, belum genap 2 tahun sudah dibelikan hape smartphone. Alasanya biar bisa ditinggal mengerjakan pekerjaan lain. Tetangga lain, membiarkan anaknya main di luar rumah pada jam-jam yang tidak normal. Tengah hari menjelang dan sesudah dzuhur, Tepat waktu maghrib, dan bahkan menjelang jam 9 malam ketok2 pintu rumah saya buat ngajak anak saya main. Ada lagi, tetangga yang kenakalan anaknya berlebihan, saat menerima laporan atas kelakuan anaknya hanya berkomentar, "marahin aja klo anak saya nakal".

Dan masih banyak kejadian lain yang membuat saya dan istri harus "mereset" ulang pemahaman anak saya tentang mana yang baik dan tidak baik, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang sopan dan tidak sopan. Termasuk berusaha menghapus kosa kata kosa kata kasar dari otak anak saya.

Malam tadi ketika anak saya ajak sholat tarawih, dua anak tetangga nyamperin dan ngajak anak saya main. Mereka bertiga main tepat di sebelah saya sholat. Salah satu anak ngambil kipas dan mukul-mukulin ke anak saya. Anak lain ngambil botol dan meminum isinya tanpa ijin smpe hampir habis. Mereka juga mulai ribut dan teriak-teriak. Akhirnya saya putuskan pulang saja setelah selesai 8 rakaat.

Masalahnya, melarang anak saya main dengan anak-anak tetangga tentu bukan pilihan yang bijak. Beberapa anak tetangga lain ada yang baik dan anak saya belajar banyak hal dengan bermain bersama. Mengajak anak main dengan 1 - 2 anak tertentu tidak mungkin terjadi tanpa pengawasan. Selalu menemani anak saat bermain bersama anak-anak tetangga akan mengorbankan waktu istirahat karena banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai. Membiarkan anak main sendiri akan mengubah tatanan akhlak dan adab yang susah payah diajarkan.

Ini semua memang tantangannya. Dahulu, orang tua saya memutuskan untuk "mengucilkan" anak-anaknya agar tidak terpengaruh hal-hal negatif dari lingkungan sekitar. Tapi sebagai akibatnya, saya merasa tidak memiliki life skills dan kekuatan fisik yang mumpuni. Pengetahuan saya terbatas pada apa yang orang tua dan sekolah ajarkan. Saat pertama kali merantau, baru saya sadari bahwa saya tertinggal akan banyak hal dengan rekan seusia saya.

Maka, saya tidak akan mengambil metode yang sama dengan orang tua saya. Saya akan tetap membiarkan anak saya bermain berasama anak-anak tetangga. Akan repot memang. Tapi insya Allah ini akan membuat anak saya lebih mudah dalam menjalani kehidupannya kelak saat dewasa.

Jan 18, 2018

Menasehati Dengan Kekerasan


Pernah kah anda melihat seseorang yang sedang berupaya menasehati, baik di dunia nyata maupun di media sosial, menggunakan pilihan kata dan bahasa yang kasar dan tidak sopan?

Semisal, "Eh, elu kalo kebanyakan maksiat, trus Allah turunkan azab, yang mampus bukan elu aja monyong!" atau "kalian kalo masih suka mabok mending minggat saja dari kampung sini" atau "Dasar antek kafir, ini itu demi memperjuangkan agama mu juga, gak malu tuh di KTP nulis islam?"
dan sebagainya.

Mari difikirkan dengan jernih, apakah kata-kata di atas akan membuat lawan bicara tersadar, kemudian tergerak hatinya untuk meninggalkan maksiat dan membantu perjuangan agama? saya rasa tidak. Kata-kata tersebut malah akan menjadi kontraproduktif, bahkan dapat memicu terjadinya konflik yang lebih besar, perkelahian dan kebencian misal. Tentu bukan itu yang kita harapkan bukan?

Begitupula dalam menasehati anak. Ucapan kasar dengan nada tinggi kepada anak, meski dengan maksud yang baik, tidak akan efektif membuat anak mengikuti saran atau nasehat kita. Alih-alih patuh, anak malah akan semakin membangkang. Kebanyakan orang tua mungkin tidak menyadari bahwa ketidakpatuhan anaknya bukan karena mereka kurang keras mendidik, tapi karena mereka terlalu keras.

Menasehati anak dengan kata kata yang baik, lembut, penuh kasih sayang, akan membuat anak mengikuti nasehat kita atas kesadaran sendiri. Sehingga di kemudian hari, kita tidak perlu repot-repot menasehatinya secara berulang.

Tetapi, bagaimama jika anak tetap tidak mau patuh dengan nasehat yang lemah lembut? Bukankah hal itu akan membuat orang tua emosi dan kembali marah? Di situlah ujian kesabaran orang tua. Saya pribadi sering menjumpai anak saya enggan mengikuti saran saya dan istri. Tapi kami tidak pernah memarahi atau membentak-bentak nya. Kami selalu memutar otak hingga akhirnya menemukan cara untuk memahamkan anak kami.

Kitalah sebagai orang tua, yang mestinya paham motede apa yang paling efektif dalam menasehati anak. Karena bisa jadi, metode kami efektif diterapkan kepada anak kami, tapi tidak pada anak orang lain.

Jan 11, 2018

Asumsi Dalam Komunikasi

Dalam kerjaan-kerjaan Engineering, menggunakan asumsi itu merupakan tuntutan pekerjaan. Ada banyak informasi yang diperlukan tetapi data yang akurat tidak semuanya tersedia. Bertanya atau menunggu agar memperoleh data yang akurat tidak begitu disarankan karena dapat menganggu project schedule, terkecuali kita yakin dapat tetap mempertahankan on time delivery saat menunggu jawaban atau data yang akurat.

Berbeda dalam kehidupan berumah tangga, menggunakan asumsi sangat tidak disarankan karena dapat menganggu keutuhan rumah tangga. Tidak percaya? Berikut contoh kasusnya:

1. Suami berangkat kerja, lihat istrinya masak. Istri masak dipamitin suami yang bilang, "Ma, aku ntar lembur lagi ya"'.
Jam 11 malam suami sampai rumah, tak ada makanan, nasi sebutir pun tak ada, stok beras pas habis. Bangunin istri, "Ma, tadi mama masak kan?". Istri yg masih mengerjapkan mata sontak terkejut, "Papa belum makan? yaah...kirain makan di kantor apa di jalan, tadi sisa makananya mama kasih ke satpam karna masakan mama gak bisa buat besok pagi".
Akhirnya, sang suami keluar rumah lagi nyari warung yang masih buka.

2. ‎Istri lagi hamil, saat suami hendak pulang kerja, istri berpesan lewat aplikasi chating, "abi, ntar pulang mampir warung bisa? tolong beliin kacang ijo buat cemilan dan sate buat makan malam, abi klo mau makan malam yang lain ya gak papa, umi gak masak tadi".
Sesampainya di rumah, sang suami membawakan bubur kacang hijau dan sate ayam tanpa nasi atau lontong.
"Lho kok bubur kacang hijau? maksud umi kacang hijau yang buat cemilan, yang langsung dimakan, temennya kacang atom atau kacang oven, trus ini kok gak pake lontong? di rumah kan gak ada nasi. Umi gak masak".
Dengan entengnya sang suami menimpali, "coba baca lagi chat umi tadi minta dibeliin apa?"

3. "Yah,,klo tak lihat lemari baju kita kok penuh banget ya? banyak baju baju lama dan gak pernah dipakai, gimana kalau kita sumbangkan saja, biar legaan".
"Iya...bunda atur aja, tapi ayah gak bantuin gak papa ya, kerjaan ayah banyak"
Beberapa hari kemudian
"Bunda, lihat baju jersey bola warna biru? kok gak ada ya?"
"Kan kemarin habis disumbangin baju baju yang gak pernah dipakai"
"Haaa.....?? jersey asli bolaku ikut disumbangkan? kamu tau itu belinya di mana? harganya berapa?"
"Nanti bunda beliin lagi di pasar deh, pake uang bunda"
"......%*¢£¥&#€..."

Ketiga contoh kasus di atas sebenarnya tidak perlu terjadi ketika sang suami atau istri membuang asumsi dan membuka komunikasi. Apa susahnya mengirim pesan, menelepon, dan bertanya,
"Ma, meski pulang malam Papa ntar makan di rumah ya",
"Pa, makanan di rumah habis",
"Mi, ini pesanan umi kan? (sambil kirim foto)",
"Bi, jangan lupa nitip kacang hijau, beli di ****mart, harganya sekian, sama sate dan lontongnya, beli di warung dekat rumah saja, harganya sekian",
"Yah, ini ya baju yang disumbangin",
"Bunda, kaos jersey yang biru itu jarang ayah pake tapi jangan disumbangin ya".

Nah, jadi menghindari asumsi dalam berkomunikasi itu tidak terlalu susah bukan?



Jan 9, 2018

Hitam, Putih dan Abu abu


Mayoritas pilihan di dunia ini tidak sekedar hitam putih, tidak pasti benar dan pasti salah, tidak bisa disebut satu pilihan selalu baik dan pilihan lainnya selalu buruk. Alih alih demikian, pilihan - pilihan dalam hidup ini umumnya memiliki manfaat dan kerugian sekaligus. Sehingga, bisa jadi pada satu waktu pilihan A lebih baik daripada pilihan B dan di waktu lain pilihan B yang lebih baik. Begitu pula, bisa jadi pilihan A lebih baik pada seseorang, akan tetapi tidak bagi orang lain. Orang lain lebih tepat memilih pilihan B. 

Hal ini berlaku di banyak hal dan kesempatan, termasuk dalam mendidik dan membesarkan anak. Di sosial media sering sekali saya baca, perdebatan antara ASI eksklusif vs susu formula, Ibu rumah tangga vs ibu bekerja, mengajar anak calistung saat balita vs setelah balita, memasukkan anak ke PAUD vs tidak menyekolahkan anak sebelum 5 tahun, membiarkan anak bermain gadget sepuasnya vs tidak mengijinkan anak bermain gadget sama sekali, mencekoki anak hafalan Al Qur'an di usia balita vs menunggu anak dapat melafalkan huruf arab dengan baik baru mengajarkan hafalan, memiliki banyak anak vs membatasi jumlah anak, dan banyak lagi. Masing masing mengutarakan argumen nya dari sudut pandang pribadi, sehingga bisa jadi pendapat dia tepat untuk dirinya dan anaknya, tapi tidak untuk orang lain dan anak orang lain.

Kemudian, beberapa emak emak galau setelah membaca perang argumen tersebut, bingung memutuskan apa yang ingin diterapkan kepada anaknya. Padahal, sejatinya, orang tua lah yang lebih paham dan lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi anaknya. Orang tua lah yang paham situasi dan kondisi secara lengkap dan menyeluruh. Orang tua lah yang memahami minat, bakat dan kecenderungan sang anak. Orang tua lah yang mengetahui apakah efek buruk yang dikhawatirkan orang lain atau yang terjadi pada anak orang lain berlaku pula kepada anaknya. Sehingga, pendapat orang lain seharusnya tidak dijadikan panutan yang serta merta langsung diikuti. Cukup dijadikan bahan pertimbangan. 

Setelah mengambil keputusan dengan mempertimbangkan banyak hal, tidak perlu lagi memusingkan komentar orang, jangan kembali galau hanya karena keputusan tersebut tidak sesuai dengan kemauan tetangga, teman atau bahkan orang tua dan mertua. Yakinkan pada diri sendiri bahwa "saya lah yang lebih paham mana yang terbaik buat anak saya". Meskipun, ini bukan berarti menutup diri dari saran dan masukan pihak lain, tetapi mengokohkan diri untuk tidak sekedar mengikuti apa kata orang.

Begitu pula, sebagai "orang lain", kita tidak semestinya mengomentari apa yang diterapkan oleh rekan, tetangga, kenalan, bahkan seseorang yang kita tidak kenal, kepada anak-anak nya. Kita tidak tau apa pertimbangan mereka, latar belakang, pola pikir, dan alasan mereka. Sekedar memberi saran atau masukan boleh saja, tapi tidak untuk menghakimi, mencela atau menyalahkan keputusan orang lain terhadap anak-anaknya

Semoga dengan demikian tidak ada lagi perang argumen dan emak emak galau di jagat dunia maya.