Panduan menggunakan Blog ini :D
May 13, 2012
Tips menghindari pelecehan seksual di KRL, busway dan bus kota.
Apr 3, 2011
Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 03)
Masih teringat jelas dalam benakku, tiga tahun yang lalu, ketika membaca pengumuman SNMPTN, aku dinyatakan diterima di pilihan pertama, Teknik Fisika UGM. Hari yang membahagiakan, sekaligus menyedihkan. Karena pada hari itu juga, setelah membaca persyaratan registrasi berikiut komponen biaya yang harus dibayar, orang tuaku menyerah. Mereka tidak memiliki uang ataupun barang yang biasa dijual, yang cukup untuk membayarnya. Bahkan kedua orang tuaku sempat menangis di depanku, meminta maaf karena tidak bisa mendukung cita-citaku untuk kuliah. Aku sedih sekali waktu itu, bukan karena aku gagal kuliah, tetapi karena aku membuat kedua orang tuaku menangis.
Mimpi kuliah di UGM saat itu juga aku hapuskan, kemudian aku mencari informasi kursus-kursus D1 yang bisa menambah keahlianku. Tetapi, guru di SMAku sangat menyayangkan keputusan keluargaku untuk tidak registrasi ke UGM. Kemudian beliau menghubungi salah satu alumni yang juga masih kuliah di jurusan yang sama dengan pilihanku. Alumni tersebut menginformasikan kalau ada banyak beasiswa yang disediakan di UGM, dan dia berjanji untuk membantuku mengajukan beasiswa agar dapat kuliah di UGM tanpa biaya. Sempat beradu argumen dengan kedua orang tuaku, bahwa mendapat beasiswa yang full itu sulit. Belum juga memikirkan biaya hidup dan tempat tinggal, karena tidak mungkin Jogja-Klaten aku laju. Tetapi, aku bersikeras, aku akan datang dulu ke UGM, berusaha memperoleh beasiswa seperti yang dijanjikan kakak alumni itu. Jika aku tidak berusaha dulu, bagaimana mungkin ada jalan? Akhirnya orang tuaku menyerah. Mengijinkanku berangkat ke Jogja pada hari terakhir registrasi, hanya membawa dokumen-dokumen yang menjadi syarat registrasi, termasuk surat pendukung untuk memperoleh beasiswa -seperti yang diminta kakak alumni SMAku- beserta uang Rp. 500.000.
Sesampainya di Jogja, kakak alumni SMAku mengantarkanku ke stand advokasi BEM Fakultas Teknik Aku mendapat informasi detail mengenai keringanan biaya di UGM. Untuk sumbangan SPMA, bisa diusahakan gratis oleh para pengurus di BEM, tetapi untuk biaya SPP dan BOP, aku baru bisa mengusahakan beasiswa di semester dua. Dengan bekal uang yang aku bawa, tentu tidak cukup utuk membayar SPP dan BOP di semester satu. Para pengurus BEM bingung juga bagaimana lagi untuk membantuku. Aku kembali terpuruk, sepertinya memang sulit bagi anak miskin sepertiku untuk kuliah di UGM. Tiba-tiba salah seorang dari pengurus BEM yang ada di stand ini berdiri, yang kemudian aku ketahui namanya kak Faisal, dia menyuruhku menunggu, dan dia pergi.
Beberapa saat kemudian dia datang lagi, kemudian menyuruhku mengikutinya. Aku berjalan di belakangnya, menuju ke gedung Jurusan Teknik Fisika. Di dalam gedung yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu kuliah ini, aku sempatkan untuk melihat-lihat, sampai kak Faisal menyuruhku masuk ke ruangan Ketua Jurusan. Aku masuk, dan dia pun juga menemaniku masuk. Sebelum masuk ke ruangan Ketua Jurusan ini, awalnya aku membayangkan sosok dosen yang sudah tua, rambut botak dan beruban, serta berkacamata. Tetapi bayanganku langsung sirna setelah pintu terbuka. Sosok yang duduk di belakang meja itu seorang yang menurutku masih sangat muda. Mungkin usianya baru sekitar 30an tahun. Rambut hitam dan bergelombang, wajah bersih tanpa keriput, dan tanpa kacamata. Setelan kemeja lengan pendeknya membuat tampilan beliau jauh dari kesan kaku, beliau terlihat sangat santai.
Beliau mempersilahkan aku duduk di kursi di depannya, sedangkan kak Faisal duduk di sofa di belakangku. Kemudain beliau mulai memperkenalkan diri, namanya Pak Hafidz. Ternyata jabatan beliau bukan ketua jurusan, melainkan hanya Penanggung jawab bidang kemahasiswaan dan alumni, menggantikan tugas ketua jurusan untuk sementara yang sedang bertugas keluar kota. Kemudian secara singkat beliau juga menjelaskan tentang percakapannya dengan kak Faisal sebelum ini. Aku hanya diam saja mendengar penjelasan beliau, sampai kemudian beliau bertanya-tanya tentang diriku, tentang keluargaku dan banyak hal lagi. Meski sebenarnya aku diwawancarai namun waktu itu aku tidak merasakannya, yang ku rasakan hanya sekedar ngobrol biasa. Akhirnya beliau mengatakan -yang sempat membuatku shock saat itu- bahwa yayasan beliau akan membiayai kuliah saya sampai saya lulus. Full. Saya benar-benar kaget sekaligus bahagia, kemudian beliau memintaku untuk segera melakukan registrasi, beliau membuat surat yang menyatakan bahwa biaya kuliah saya ditanggung oleh yayasan beliau, sehingga saya bisa melakukan registrasi tanpa harus membayar terlebih dahulu. Saya berkali-kali mengucapkan terimakasih, dan beliau berkali-kali pula mengucapkan, sudah, sudah, nanti setelah selesai registrasi, tolong balik ke sini.
Setelah selesai melakukan registrasi, ternyata sudah masuk waktu ashar. Ku sempatkan shalat ashar di mushola Teknik, dari suara takbirnya, ku kenali bahwa imam shalat itu Pak Hafidz, meski baru pertama kali bertemu, tapi logat dan nada suaranya yang khas membuatku yakin bahwa itu beliau. Selesai shalat ashar, aku kembali ke ruangan Ketua Jurusan. Ternyata kami malah bertemu ketika baru sampai di KPTU. Aku kembali ditanyai tentang rencana ku ngekos, tentang biaya hidup dan sebagainya. Dengan jujur, aku menjawab bahwa aku belum punya rencana apa-apa. Survei kos-kosan pun belum. Mendengar jawabanku itu, Pak Hafidz tersenyum dan memintaku untuk menemui istrinya di rumah. Beliau memberikan alamat rumahnya dan keterangan, bus mana yang harus aku tumpangi. Tidak terlalu sulit ternyata, aku sudah sampai di rumah Pak Hafidz. Di sebuah kompleks perumahan sederhana, rumah beliau terbilang kecil. Berpagar besi tanpa ukiran, berdinding putih, halaman depannya yang sempit dihiasi dengan bunga-bunga dalam pot-pot.
Ku pencet bell, terdengar suara salam dari dalam rumah. Cukup lama aku menunggu, sampai pintu depan terbuka, kemudian muncul seorang ibu-ibu muda, menggendong anak yang masih balita dan sepertinya beliau sedang hamil. Beliau menyambutku ramah, membukakan pintu gerbang, dan mempersilahkanku masuk. Kami pun mengobrol di halamannya.................................
Obrolan kami memang hanya berlangsung singkat, waktu juga sudah terlalu sore. Menjelang maghrib aku pulang. Di dalam bus menuju Klaten aku tak habis pikir. Bener-bener sebuah anugrah luar biasa yang Alloh turunkan untukku. Istri Pak Hafidz, yakni Bu Rahma, menawarkan kos-kosannya, atau lebih tepatnya asrama yang ia kelola. Aku diperkenankan menempatinya secara gratis. Asrama itu memang diperuntukkan bagi para mahasiswa yang kesulitan keuangan. Sebagai konsekuansinya, penghuni asrama harus mematuhi peraturan. Bagiku, seluruh peraturan yang tadi Bu Rahma jelaskan tidak ada yang memberatkan. Jadi, aku merasa benar-benar mendapatkan semuanya dengan cuma-cuma.
Sampai di rumah, orang tuaku tidak percaya dengan semua ceritaku. Mereka tidak percaya ada orang seperti pak Hafidz dan Bu Rahma. Tapi mereka tidak bisa membantah lagi ketika aku tunjukkan kartu mahasiswa sementara hasil registrasi. Akupun menjelaskan syarat-syarat yang harus aku penuhi untuk mempertahankan beasiswa ini. Termasuk menjaga nilai tetap baik, mematuhi berbagai aturan asrama, mengikuti kegiatan-kegiatan asrama, dan organisasi kampus. Mengetahui syarat yang seabrek itu, orang tuaku hanya geleng-geleng kepala. Tapi mereka berdua mendukungku dengan sepenuh hati. Hari itu benar-benar momen yang paling membahagiakan dalam hidupku. Malam itu, wejangan dari kedua orang tuaku terus mengalir. Menasehatiku untuk sungguh-sungguh kuliah. Gak macem-macem. Mengingat kuliahku dibiayai pihak lain.
Mar 16, 2011
Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 02)
“Assalamu'alaykum Dewi.......”
“Wa'alaykumussalam Bu Rahma, ada yang bisa saya bantu?”
“Besok ahad pagi sibuk tidak? Bisa bantuin ibu menata taman bacaan yang baru mau ibu rintis?”
“Em.......Insya Alloh bisa Bu, tapi agak siangan. Mungkin sekitar jam 9 saya baru bisa ke sana. Tempatnya di mana Bu?”
“deket kok sama rumah Ibu. Nanti Dek Dewi ke rumah Ibu dulu aja”
“Oh, baik Bu, Insya Alloh. Ada yang perlu saya bawa atau persiapkan?”
“Tidak usah, Ibu cuma butuh bantuan tenagamu, Oh,ya nanti Nisa dan Nabila juga ibu mintai tolong. Kalian belum saling kenal kan? Nanti sekalian Ibu kenalin”
“Yang pernah ibu ceritain itu ya, Baik Bu”
“Sampai ketemu besok ahad ya, Assalamu'alaykum”
“Wa'alaykumussalam Bu”
Kututup handphoneku. Dan aku kembali mengerjakan tugas-tugas kuliahku.
Hari ahadnya, setelah mengikuti pengajian rutin ahad pagi, aku segera menuju ke rumah bu Dewi. Sesampainya di sana, aku langsung di sambut oleh Haniya yang sedang bermain puzzle di teras rumah. Aku bantu dia membuka pintu gerbang, kami saling mengucapkan salam dan dia mencium punggung tanganku.
“Ayo kak ke tempat bunda! Tadi bunda pesen kalau kak Dewi sudah datang, Haniya diminta langsung mengantar kak Dewi ke sana. Kak Nisa ama Kak Nabila juga udah datang”.
Haniya membereskan permainan puzzlenya, masuk ke rumah, menutup dan mengunci pintu rumah dan pintu gerbang. Semakin hari, gadis kecil ini semakin membuatku terpesona. Sepertinya, bukan hanya aku. Tetangga-tetangganya di sini dan guru-gurunya di TKIT pun takjub dengan “keajaiban” yang sering Haniya pertunjukkan. Dengan berdiri di depanku, Haniya menunjukkan arah mana yang harus aku tuju.
Tidak terlalu jauh memang, masih di komplek yang sama. Hanya selisih dua gang. Lokasi yang hendak Bu Rahma jadikan taman bacaan ini sungguh ideal. Sebuah ruangan berukuran sekitar 8 m x 5 m tepat berada di samping gang, tidak menjorok ke dalam, sehingga terlihat jelas keberadaannya. Lahan kosong di sebelahnya bisa dijadikan tempat parkir. Bu Rahma dan dua orang perempuan yang aku taksir usianya hanya sekitar beberapa tahun di atasku tampak sedang menyelesaikan tahap akhir bersih-bersih ruangan tersebut.
Melihatku sudah tiba, Bu Rahma menghentikan aktivitasnya. “Eh, Dewi udah datang, Assalamu'alaykum......” sapanya sambil menjabat tanganku.
“Wa'alaykumusslam” Jawabku menyambut uluran tangannya.
Lalu, Bu Rahma memperkenalkanku kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Mbak Nisa satu tahun di atasku. Kuliah di Psikologi semester 7. Sedangkan Mbak Nabila 3 tahun lebih tua. Beliau sedang menempuh S2. Kami sempat mengobrol sebentar mengenai aktivitas kuliah kami masing-masing. Obrolan kami berhenti ketika Bu Rahma secara halus memerintahkan kami untuk melanjutkan acara bersih-bersihnya. Sebenarnya untuk bersih-bersih ruangan ini sudah hampir selesai. Hanya tinggal melanjutkan mengepel saja. Tapi kemudian, Bu Rahma memberikan arahan,
“Nah, sembari nanti menunggu lantai kering, coba kalian bertiga diskusikan, kira-kira penataan ruangan yang bagus bagaimana. Itu rak-rak buku, meja dan kursinya tinggal di tata saja. Ibu sama Haniya ke rumah dulu. Ntar Ibu balik lagi. Tolong ya. O,ya pinjem motornya Wi”
Aku serahkan kunci motorku ke Bu Rahma sambil bertanya, “Faqih ke mana Bu?”
“Di rumah, lagi bobok, makanya tadi Haniya Ibu minta jagain Faqih sambil nunggu kamu. Ini Ibu mau balik ke rumah nengokin Faqih. Semoga aja belum bangun”, setelah itu beliau segera pergi bersama Haniya. Meninggalkan kami bertiga yang sebenarnya bingung mau mulai bagaimana, tapi kemudian Mbak Nabila sebagai yang tertua berinisiatif,
“Bagaimana kalu penataannya begini...” kemudian dia menjelaskan idenya. Dimana rak-rak itu harus diletakkan, termasuk meja kursinnya. Dia juga menyampaikan tentang ide penambahan karpet agar anak-anak yang suka duduk lesehan merasa nyaman untuk membaca di tempat. Mbak Nisa menambahkan ide untuk memberi hiasan-hiasan dinding yang bersifat edukatif, serta rencana penataan buku dan pembagiannya di dalam rak-rak. Semua ide tersebut dicatat dalam sebuah notes. Aku agak malu karena tidak menyumbang ide apapun. Hanya mengiyakan saja.
Setelah lantai kering, kami kembali bekerja. Memasukkan rak-rak -yang ternyata tidak berat-, meja dan kursi. Selesai menatanya, ternyata Bu Rahma belum datang. Kamipun mengobrol sambil menunggu beliau. Dari obrolan ini, baru aku ketahui, bahwa dulu tempat ini dipakai untuk toko klontong. Karena kalah bersaing dengan mini market baru yang buka di jalan raya dekat kompleks ini, pemiliknya pun memilih untuk menutup tokonya dan menjual/mengkontarakkan tempatnya. Kemudian suami Bu Rahma membelinya. Termasuk membeli lahan kosong di sebelahnya -yang juga dimiliki si pemilik toko klontong-. Bu Rahma dan suaminya memang memiliki cita-cita memiliki taman bacaan yang bisa menarik dan meningkatkan minat baca anak-anak muda, minimal yang berada di kompleks ini. Bu Rahma memang sering cerita, beberapa remaja dan anak-anak di kompleks ini memiliki minat baca yang lumayan tinggi, sehingga beliau sering meminjamkan buku-buku koleksi pribadinya. Taman bacaan ini nantinya tidak hanya akan diisi buku-buku agama maupun buku pelajaran sekolah saja. Tetapi ada juga buku-buku cerita dan buku-buku pengetahuan umum. Yang penting buku tersebut mengandung ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Ketika aku tanyakan kepada Mbak Nabila, apakah Bu Rahma akan memasang tarif bagi penyewa atau peminjam buku-buku di taman bacaan ini, Mbak Nabila menjawab tidak. Tetapi jika ada yang ingin menyumbang agar koleksi taman bacaan ini semakin banyak, dipersilahkan saja.
Lagi-lagi aku tidak habis pikir, dana untuk mendirikan taman bacaan ini tentu tidak kecil. Apalagi sampai membeli tanah beserta bangunannya. Tetapi Bu Rahma dan suaminya sama sekali tidak mengharapkan profit dari sini. Ketika aku utarakan unug-unegku ini kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila, tepat pada saat itu Bu Rahma dan Haniya datang. Bu Rahma membawa kardus besar di jok belakang motorku. Kamipun menghentikan obrolan kami dan membantu beliau menurunkannya. Ternyata isinya buku-buku. Kami segera membukanya dan memilah-milahnya, kemudian kami tata ke dalam rak sesuai pembagian yang tadi sudah kami putuskan. Sedangkan Haniya asyik sendiri mengambil salah satu buku dan membacanya. Bu Rahma memuji hasil kerja kami. Meski kami bertiga tidak ada yang pernah mendapat pelajaran tentang desain interior, tetapi hasil desain kami bagus. Begitu pujian dari beliau.
Sambil menata buku-buku kedalam rak, Mbak Nabila -dengan gaya bercanda- menyampaikan uneg-unegku tadi kepada Bu Rahma. Wajahku sepertinya menjadi merah padam menahan malu. Tetapi Bu Rahma menanggapinya dengan serius.
“Mendirikan taman bacaan yang bisa menambah ilmu pengetahuan anak-anak dan remaja merupakan mimpi Ibu sejak Ibu masih seusia kalian. Dan Alhamdulillah, Alloh menjodohkan Ibu dengan seorang laki-laki yang juga memiliki mimpi yang sama. Kalian pasti akan kaget kalau tau ada berapa banyak mimpi atau cita-cita Ibu yang ternyata sama persis dengan cita-cita Bapak. Dan ini adalah salah satunya.”
“Memang, ada berapa Bu cita-cita Ibu yang sama?” aku tak tahan untuk tidak menanyakan ini.
“Ada banyak, Ibu sampai tidak hafal berapa jumlahnya. Kapan-kapan saja Ibu ceritakan lebih lengkap. Untuk taman bacaan ini, apa kalain tau? Kami mulai merencanakannya sejak kapan?”
Kami hanya menggelengkan kepala, kemudian Bu Rahma melanjutkan,
“Di Hari pertama kami menikah. Kami saling menceritakan impian dan cita-cita kami. Kemudian kami mulai menyusun rencana untuk mewujudkannya bersama-sama. Mana yang diprioritaskan dan mana yang ditangguhkan. Dan Alhamdulillah, pendirian taman bacaan ini hanya terlambat satu tahun dari target yang kami canangkan waktu itu. Permasalahan utamanya hanya karena kami belum menemukan tempat yang cocok dan ideal saja”.
“Em.....jadi sebenarnya, untuk dana, sudah ada sejak tahun lalu ya Bu?” aku masih penasaran.
“Sayangku,” Bu Rahma menyunggingkan senyumnya, “menurut sepengetahuanmu, Ibu dan Bapak punya berapa usaha sampingan?”
“E.....” aku mengingat-ingat sambil menoleh ke Mbak Nisa dan Mabk Nabila meminta bantuan, “Warung makan yang di dekat kampus” aku mulai menyebutkan satu persatu.
“Usaha catering, toko roti dan kue di daerah Sagan” Mbak Nisa menambhakan
“Rental komputer dan foto copy di dekat UIN itu juga punya Ibu kan?” Mbak Nabila ikut membantu.
“Oh, Iya, ada juga toko bunga di dekat Masjid Syuhada, ada lagi tidak Bu?” aku menoleh lagi ke Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Tapi keduanya diam. Sepertinya memang hanya ada empat itu.
“Kalau yang kepemilikannya penuh, iya benar hanya ada empat, tetapi kami juga punya beberapa usaha yang kepemilikannya gabungan antara Bapak dengan teman-teman Bapak. Nah, untuk membeli lahan termasuk bangunannya ini, kami menjual kepemilikan warung makan yang di dekat kampus itu kepada salah seorang teman Bapak. Jadi, kalau seandainya kami menemukan tempat yang ideal ini tahun kemaren, warung makan itu sudah bukan milik kami lagi sejak satu tahun yang lalu”.
Oh...aku baru paham. Keluarga Bu Rahma tidak menabung uangnya di bank. Tetapi menjadikannya modal usaha. Ketika mereka membutuhkan dana, usaha tersebut dijual. Benar-benar ide yang brilyan.
“Menurut kalian, apa kelebihan menabung uang dalam bentuk usaha dibandingkan ketika kita taruh saja uangnya di bank, toh sama-sama akan jadi semakin banyak uangnya” Bu Rahma menyampaikan pertanyaannya seakan-akan beliau bisa membaca pikiranku.
“Yang jelas bunga bank itu haram, kalau dengan menjadikannya modal usaha, penambahan uang kita berasal dari hal yang halal” aku langsung menyahut.
Bu Rahma hanya mengangguk kemudain menoleh ke arah Mbak Nisa yang ikut menjawab,
“Keuntungan dari usaha itu bisa berkali-kali lipat dibandingkan dengan keuntungan dari bunga bank”
“Dengan catatan, usahanya dimenej dengan tepat dan diperhitungkan yang cermat, serta dengan ijin Alloh tentunya sehingga usaha itu tidak bangkrut” Bu Rahma buru-buru menambahkan, “Ada yang punya jawaban lain?”
“Nilai mata uang itu makin lama makin turun. Lima ribu rupiah hari ini bisa untuk membeli satu porsi nasi lengkap dengan lauknya, tetapi lima ribu pada 10 tahun lagi bisa jadi cuma dapat nasi putih satu bungkus” Mbak Nabila menjawab dengan sangat cerdas menurutku.
“Semuanya benar, tetapi masih ada satu lagi alasan utama yang belum kalian sebutkan” Bu Rahma berhenti sejenak, melihat kami bertiga yang saling pandang dengan wajah bingung, beliau melanjutkan, “uang yang digunakan untuk membuka usaha itu berarti membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain, sedangkan uang yang disimpan di bank tidak memberikan manfaat apapun, malah membuat beban orang yang meminjam uang kita karena harus menanggung bunganya”
Kami hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan beliau. Aku sama sekali tidak terpikirkan tentang itu. Pemikiran yang luar biasa menurutku. Jiwa sosial yang begitu tinggi. Sebuah sikap yang sudah sangat jarang dimiliki oleh orang-orang di negeri ini. Kumandang adzan dzuhur menghentikan obrolan kami. Bu Rahma menyuruh kami menghentikan aktivitas menata buku ke dalam rak dan meminta kami ke rumahnya untuk shalat dzuhur dan makan siang. Selesai Shalat dan makan, kami melanjutkan menata bukunya. Taman bacaan ini sendiri rencananya baru akan diresmikan pekan depan. Menunggu suami Bu Rahma pulang dari tugas keluar negeri. Sekali lagi aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari ini.
Mar 8, 2011
Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 01)
“Ya Alloh, udah jam 7 pagi. Kenapa tadi aku bisa tidur lagi habis shalat subuh...... huff.... aku kan ada janji ngantar Bu Rahma ke puskesmas, harus cepat-cepat bersiap ni”. Aku segera beranjak dari tempat tidur, bersiap-siap secepat mungkin. Ku kenakan rok hitam panjang dan gamis coklat polos serta jilbab dengan warna coklat muda. Sekalian kubawa perlengkapan kuliahku, nanti setelah mengantar Bu Rahma, aku berencana mau langsung ke kampus. Ku keluarkan sepeda motor maticku, dan tanpa sempat ku cuci setelah semalam kehujanan, kukendarai secepat mungkin ke rumah Bu Rahma. Rumah Bu Rahma sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi jam segini jalanan pasti padat. Jadwal Bu Rahma menjadi moderator semacam acara seminar di Puskesmas adalah jam 9. tentu sangat konyol kalau sampai beliau terlambat. Alhamdulillah, jalanan yang ku lalui tidak terlalu padat, bahkan di beberapa perempatan aku tidak terjebak lampu merah.
“Assalamu'alaykum” terdengar bunyi salam ketika ku pencet bel rumah Bu Rahma. Ku lirik jam tanganku, “semoga masih sempat”.
Bu Rahma keluar dengan menggendong Faqih, bayinya yang masih belum genap berumur setahun, dan Haniya, anak pertamanya yang belum sekolah mengikuti ibunya dari belakang.
“Assalamu'alaykum kak Dewi.........” Bu Rahma mengucapkan salam dengan mengajarkan memanggilku “kak” kepada anak pertamanya. Haniya pun mengikuti kata-kata ibunya sambil berlari dan membukakan pintu gerbang -yang aku bantu mendorongnya-, kemudian dia menyalami dan mencium punggung tanganku.
“Wa'alaykumussalam........dek Haniya pintar banget, mbukain pintu buat kakak” jawabku sambil mengusap lembut jilbab kecilnya.
“Langsung berangkat yuk kak, udah hampir telat”
Aku segera bersiap dengan sepeda motorku. Haniya berdiri di depan. Sepanjang perjalanan Haniya banyak bercerita dan mengatakan macam-macam. Aku tak habis pikir, anak sekecil ini sudah memiliki perbendaharaan kata yang sedemikian banyak. Kalau belum mengenal Bu Rahma, pasti aku akan sangat penasaran dengan cara mendidik anak ini.
Tiba di puskesamas pukul 8.50, Alhamdulillah tidak terlambat. Tetapi para peserta seminar, yakni Ibu-ibu di sekitar puskesmas, beberapa mahasisiwi dari jurusan gizi dan kesehatan, serta pemateri utama, seorang dokter ahli gizi sudah hadir. Acara ini sebenarnya ide dari LSM yang didirikan Bu Rahma beserta suaminya. Dilatarbelakangi oleh keprihatinan beliau terhadap kekurang pahaman masyarakat akan pentingnnya pemberian makanan yang tepat bagi bayi dan balita. Ide ini disampaikan ke pihak puskesmas, dan puskesmas pun memfasilitasi dengan menyediakan tempat dan sarananya, sedangkan biayanya, murni dari LSM. Ibu-ibu yang diundang sebenarnya tidak hanya yang berada di sekitar puskesmas. Tetapi juga dari desa-desa sebelah. Tetapi sepertinya tidak semua yang diundang bisa hadir. Terlihat banyak kursi kosong yang ku perkirakan hampir setengahnya.
Acara dimulai tepat pukul 9. Bu Rahma membuka acara. Menjadi MC sekaligus moderator. Selain bertugas mengantar Bu Rahma, aku juga diminta menemani Haniya dan Faqih. Aku duduk di barisan belakang, menggendong Faqih. Haniyah duduk di sebelahku. Matanya fokus memandang ibunya yang sedang berbicara. Seakan-akan ia paham betul apa yang Ibunya sampaikan. Sekali lagi aku bersyukur, Faqih sedang tidak rewel. Meskipun dia tidak sedang bobok. Ketika acara diserahkan kepada Dokter ahli gizi -yang baru aku ketahui namanya Dokter Ana-, beliau menyampaikan tentang pentingnya pemberian ASI pada 6 bulan pertama sang bayi, tanpa memberi makanan tambahan apapun. Dan tetap memberikan ASI hingga anak usia dua tahun. Dokter Ana juga menyampaiakan makanan-makanan tambahan yang boleh dan yang tidak boleh diberikan ke anak berusia diatas 6 bulan hingga 2 tahun, sekaligus menjelaskan kandungan-kandungan yang terdapat pada bahan makanan tersebut. Ketika beliau menyebukan istilah-istilah seperti karbohidrat, protein, mineral dan sebagainya, Haniya berulang kali menarik jilbabku dan menanyakan artinya. Aku agak kewalahan juga menjawabi semua pertanyaannya. Takut jika jawabanku nanti menimbulkan pertanyaan baru yang tidak bisa aku jawab, aku kan tidak kuliah di bidang gizi dan kesehatan. ^_^
Acara berakhir sekitar pukul sebelas. Kami segera pulang ke rumah Bu Rahma. Sesampainya di rumah, Bu Rahma mempersilahkan aku masuk. Aku sempat menolak dengan alasan mau ke kampus. Tetapi tawaran Bu Rahma untuk makan siang dulu tak bisa ku tolak. Makanan di rumah Bu Rahma memang tidak terlalu istimewa, tetapi sangat enak. Kali ini beliau masak nasi sayur bothok dengan lauk karak, tempe dan tahu. Aku makan dengan ditemani Haniya yang juga makan dengan lahap. Sedangkan Bu Rahma menggendong Faqih sambil -sepertinya- beberes di belakang. Ketika Bu Rahma ke ruang makan, aku sudah selesai makan, dan aku tak tahan lagi untuk tidak menyampaikan uneg-unegku.
“Maaf Bu sebelumnya, boleh saya bertanya?”
“Kenapa pakai maaf segala? Kamu ini kayak sama siapa saja” Bu Rahma mengambil tempat duduk di depanku, sambil tersenyum, beliau melanjutkan, “mau tanya apa sayang?”
“Bu, sekali lagi maaf, tapi saya tidak tahan untuk tidak mengatakannya” aku mengambil nafas sejenak, “Dari dulu saya tidak habis pikir, suami Ibu dosen dan punya jabatan tinggi di kampus, Ibu dan suami juga memiliki beberapa usaha yang saya perkirakan penghasilannya besar, tetapi Ibu malah menggunakan uang hasil jerih payah Ibu dan suami Ibu untuk sesuatu yang.....bersifat sosial” -aku sempat bingung untuk memilih kata terakhir itu-. Melihat Bu Rahma yang hanya tersenyum dan sepertinya belum ingin memotong pembicaraanku, akupun kembali melanjutkan, “Dan itu jumlahnya tidak sedikit. Berbeda dengan orang tua dari teman-teman saya yang juga seperti Ibu”.
“Maksudmu, orang kaya begitu?” kali ini Bu Rahma memotong pembicaraanku.
“Iya, maksud saya orang tua temen-temen saya yang kaya” jawabku dengan agak malu, “Em....mereka lebih banyak menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, baru sisanya, atau sebagian kecilnya yang didermakan untuk kepentingan sosial. Sedangkan Ibu, memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sederhana ini, alih-alih perumahan bagus yang saya yakin Ibu mampu membelinya. Juga memilih mendonasikan sebagian besar harta Ibu untuk kegiatan LSM, atau kegiatan masjid, daripada untuk membeli perabot rumah, membeli mobil, atau untuk tamasya keluarga ke luar negeri, seperti yang sering teman-teman ceritakan ke saya tentang pengalamannya jalan-jalan keluar negeri”. Aku berhenti, menunggu jawaban Bu Rahma dengan penuh rasa penasaran.
“Begini sayang, ketika hendak menikah dulu, Ibu dan suami Ibu sudah saling berjanji, bahwa harta kami nanti akan kami gunakan untuk kepentingan umat. Kami memiliki kesepahaman, dan cita-cita yang sama, sehingga kami tidak merasa keberatan dengan semua ini. Harta itu hanya titipan dari Alloh, kelak di akherat kita akan ditanyai, kita gunakan untuk apa harta yang telah Ia titipkan? Dan pernyataanmu tadi, bahwa orang-orang memilih untuk lebih banyak menggunakan harta hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, sebelum digunakan untuk kepentingan sosial, kami pun juga melakukannya. Dan inilah kebahagiaan kami, ketika kami bisa memberikan yang terbaik bagi umat.”
Sekali lagi aku dibuat takjub dengan jawaban beliau. Bagi kami yang masih mahasiswa ini, mungkin idealisme seperti Bu Rahma dan suaminya wajar didengar. Tetapi ketika benar-benar sudah memiliki harta yang banyak, tidak banyak yang bisa bertahan dengan idealismenya. Ketika masih disibukkan dengan pikiranku sendiri, suara Bu Rahma agak mengejutkanku.
“Besok, kalau Dewi mau menikah, carilah suami yang mementingkan urusan agama dan umat, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya”
“Tetapi, bagaimana saya mencarinya Bu? Bukankah fitrahnya wanita itu menunggu ada pria yang datang melamar?”
“Memang benar begitu sayang, tetapi Alloh sudah menasehati para wanita, jika kamu menginginkan suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik pula. Sudah menjelang Dzuhur, kamu mau shalat di sini atau di kampus?” Bu Rahma beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, saya ke kampus saja Bu, ada rapat ba'da dzuhur. Terimakasih banyak Bu atas jamuan makan siang dan diskusinya” Aku pun beranjak ke depan, Haniya mendahuluiku dan membukakan pintu.
“Hati-hati ya kak, kapan-kapan main ke sini lagi” Sebelum aku menjawab permintaan Haniya, Bu Rahma keburu menambahkan
“Ibu yang seharusnya berterima kasih, kamu telah banyak membantu Ibu”
“Ah, Ibu, jangan sungkan begitu. Saya jadi malah merasa tidak enak. Kalau ada apa-apa lagi yang bisa saya bantu, saya bersedia membantu dengan senang hati”
“Sementara ini cukup sayang, hati-hati di jalan”
“Iya Bu, saya pamit. Dek Haniya, kakak pulang dulu ya!, Assalamu'alaykum”
“Wa'alaykmussalam warohmatullohi wabarokatuh” Jawab Bu Rahma dan Haniya kompak.
“Dadah............” lambaian tangan Haniya pun mengantar kepergianku.
Dec 23, 2009
Kisah - kasih di Sekolah

Pukul 06.50
Jalan Raya Solo – Yogya, Perempatan pasar Klewer, Gatak.
Sambil menunggu lampu lalu lintas menyala hijau, ku tengok jam tanganku, “uh..sepuluh menit lagi….” batinku. Gara – gara lupa tidak berdoa sebelum berangkat tadi -mungkin- Alloh memberiku peringatan, ban sepeda motorku bocor. Meski keluar dari rumah pukul enam lewat lima belas seperti biasa, baru kali ini aku khawatir akan terlambat. Ya! Sekolah memang sudah sejak lama membuat aturan ketat mengenai kedisiplinan, terutama disiplin waktu. Pukul tujuh lewat semenit saja, pintu gerbang pasti sudah ditutup. Siswa yang datang terlambat, jika tidak mempunyai alasan yang kuat, jangan harap bisa segera mengikuti pelajaran. Guru BK akan memberikan untaian nasehat yang bijak, namun cukup panjang dan lebar. Setelah mendapat nasehat dari beliau, kami pasti akan merasa sangat malu dan berjanji untuk tidak terlambat lagi.
Suara klakson kendaraan membuyarkan lamunanku, trafic light telah menyala hijau. Aku segera tancap gas sembari mengucap basmallah. Ini untuk pertama kalinya aku ngebut, “Ibu, maaf” batinku, “Bukan bermaksud menentang perintah ibu untuk tidak ngebut, tapi ini dalam keadaan darurat. Ya Alloh…! Lindungi hamba”. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, aku membelah jalan Solo – Yogya, lurus menuju ke utara. Alhamdulillah lalu lintas pagi ini tidak begitu padat, meski juga tidak bisa dikatakan sepi. Keahlianku mengendaraiku motor benar – benar diuji di sini.
Pukul 06.58
Gerbang SMA Negeri 1
“Alhamdulillah, gerbang sekolah belum ditutup”. Aku segera masuk, menyapa Pak Budi, yang kami juliki juru kuncinya SMA 1, kemudian menuju ke tempat parkir motor. Hal lain yang kurang menyenangkan jika datang hampir terlambat adalah harus memarkir motornya di tempat yang paling jauh dari pintu ke luar. Peraturan parkir ini, meski tidak ada petugas yang mengawasi, dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh semua siswa. Namun peraturan ini tidak begitu bermasalah bagiku. Toh, teman – teman memarkir motornya dengan sangat rapi. Tidak ada bagian motor yang terlalu menjorok maju, maupun terlalu ke belakang. Sehingga untuk melewatinya, tidak ada hambatan sama sekali. Setelah memarkir motor, aku segera ke kelas. Alhamdulillah, bel tanda masuk berbunyi bersamaan dengan salam yang aku ucapkan ketika masuk kelas. Seketika, teman – teman di kelas kompak menjawab salam ku dengan lengkap. Ku perhatikan, tidak ada seorang pun yang tidak beraktivitas di kelas. Di deretan bangku sebelah kiri ada sekelompok siswa yang tampak asyik mendiskusikan sesuatu, sebagian lagi membaca buku pelajaran maupun buku pengetahuan yang lain. Di deretan bangku sebelah kanan, beberapa siswi sibuk membaca buku dan bahkan ada yang sedang memegang mushaf. Muroja’ah barangkali. Teguh, teman sebangku ku segera menyambut, menjabat erat tanganku dan mempersilahkan aku duduk.
”Gak biasanya antum datang mepet waktu begini?” Ia langsung menodongku dengan pertanyaan yang sudah aku tebak sebelumnya.
Sebelum aku sempat menjawab, Pak Burhan, Guru Matematika yang mengajar di jam pertama ini keburu masuk.
”Dilanjutin ntar pas jam istirahat ya!” jawabku singkat.
Pelajaran pun dimulai. Selama pelajaranan berlangsung, seluruh siswa khusyu’ memperhatikan. Ketika diminta oleh Pak Guru untuk bertanya maupun menjawab soal di depan kelas, seluruh siswa pun akan berebutan menunjukkan kemampuannya. Aku sangat menyukai suasana kelas seperti ini. Penuh persaingan, sehingga aku pun selalu bersemangat untuk belajar.
Pukul 09.17
Mushola SMA Negeri 1
Memasuki jam istirahat pertama, aku bersama Teguh dan sebagian besar teman – teman sekelas menuju ke Mushola. Sembari jalan, kami melanjutkan obrolan yang terputus tadi. Sesampainya di Mushola, ternyata Mushola sudah dipadati oleh sebagian besar siswa. Ketika masuk jam istirahat, mushola memang menjadi tujuan utama untuk menunaikan anjuran Rosululloh, yakni sholat dhuha. Hanya sebagian kecil saja siswa yang mengisi waktu istirahatnya di kantin -karena paginya belum sempat sarapan- .Di Mushola berlantai dua ini, kami tidak perlu merasa rikuh karena tempat wudhu dan tempat sholat antara siswa dan siswi dipisah. Tempat wudhu putri berada di sebelah timur laut, dan langsung dihubungkan dengan tangga ke lantai dua. Sedangkan tempat wudhu putra berada di sebelah barat daya. Jumlah keran wudhu yang sudah mencapai dua belas buah ini tetap saja tidak mencukupi. Kami tetap harus mengantri. Namun sembari mengantri, kami bisa membaca tulisan – tulisan yang ditata rapi di dinding tempat wudhu. Tulisan ini dikelola oleh para pengurus Rohis, namun tiap siswa berkesempatan untuk saling menasehati dan menularkan ilmunya melalui mading ini.
Selesai sholat dhuha, aku tidak segera kembali ke kelas. Masih ada waktu sekitar 5 menit lagi sebelum masuk pelajaran jam ke empat. Aku sempatkan untuk bertilawah, entahlah, aku merasa sangat nyaman dan betah berlama – lama di mushola ini, meski tanpa AC dan kipas angin. Sepertinya, tidak hanya aku saja yang merasa demikian. Sebagian besar siswa tetap bertahan di mushola selesai shalat dhuha. Ada yang melakukan aktivitas yang sama seperti yang kulakukan, ada yang membaca – baca buku, dan ada pula yang berkelompok mendiskusikan sesuatu. Sebagian lagi, menuju perpustakaan yang berada di sebelah timur mushola. Banyak hal yang aku banggakan dari perpustakaan sekolahku . Selain karena koleksinya sangat lengkap dan selalu up-date, penataan buku – bukunya pun sangat rapi. Buku – buku pelajaran dan buku – buku keilmuwan di letakkan di rak sebelah timur dan barat. Bagian timur untuk buku – buku eksak, dan bagian barat untuk buku – buku sosial. Sedangkan sebelah utara berisi buku – buku agama. Di bagian buku – buku islam, koleksinya tidak kalah dengan perpustakaan masjid besar. Kitab – kitab karya Ulama – ulama besar dari dalam dan luar negeri pun nongkong di sini. Ruang baca berada di tengah – tengah. Ada skat yang memisahkan satu meja dengan meja di sebelahnya. Namun, sekat ini dapat dilepas jika kita ingin berdiskusi dengan teman di sebelah kita. Selain menyediakan koleksi berupa buku pelajaran atau buku keilmuwan dan buku agama, perpustakaan ini juga mengoleksi majalah, surat kabar, e-book, soft ware komputer, dan masih banyak yang lain, yang ditaruh di rak bagian selatan, bersebelahan dengan meja pustakawan.
Pukul 11.45
Mushola SMA Negeri 1
Adzan yang berkumandang dari mushola membahana ke seluruh penjuru sekolah. Setiap muslim yang mendengar kumandang adzan ini segera menyudahi aktivitasnya dan menuju ke mushola. Tidak ketinggalan, Bapak - Ibu Guru, karyawan dan penjaga kantin pun ikut shalat berjamaah di mushola. Jika Bapak Kepala Sekolah ada, beliulah yang akan menjadi imam. Jika tidak, Guru agama kami, Pak Fauzi lah yang akan menjadi imam. Selesai shalat dan berdzikir, seperti biasa, ada semacam kultum yang diberikan oleh siswa, sesuai dengan penjadwalan yang telah dibuat para pengurus Rohis.
Pukul 13.45
Parkiran SMA Negeri 1
Sepulang sekolah, tidak ada agenda kegiatan organisasi yang ku ikuti. Aku pun segera menuju parkiran. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku datang hampir terlambat. Aku harus bersabar menunggu teman – teman yang parkir di dekat pintu keluar untuk keluar lebih dulu. Sembari menunggu, aku perhatikan kesibukan teman – teman. Aku bersyukur letak tempat parkir putra dan putri tidak dicampur. Jika berjejalan seperti ini dengan lawan jenis, betapa rikuhnya.
Akhirnya parkiran mulai sepi. Aku pun beranjak keluar mengendarai sepeda motorku. Sebelum keluar dari gerbang sekolah, sempat terbaca tulisan yang tertempel di pintu gerbang. Tulisan ini selalu ku baca karena posisi dan isinya yang sangat menarik. Tulisan itu berbunyi, ”Selamat Jalan, teruslah belajar untuk dunia dan akheratmu”
Oct 31, 2008
Jadi anak kos itu asyik
Jadi anak kos itu asyik, palagi kalo ibu kosnya gak serumah ma kos-kosan. Jarang nengok kos-kosan, paleng cuma datang di awal bulan buat nagih uang sewa. Kalau bayarane pertahun, cuma sekali setahun doang ibu kos nyantroni kos-kosannya. Bener bener bebas berekspresi! Tiap hari, mau tidur ampe kapanpun gak masalah, g’ kayak di rumah. Jam enam pagi kok masih ndengkur, langsung tu serasa ngimpi ditenggelamin ke dalam sumur tak berujung. Mimpi basah, tapi di kepala. Masih mending kalo cuma segayung, ada lho ibu – ibu yang tega nyiram anaknya dengan seember air gara – gara susah dibangunin. Beda banget ama di kos, meski bangun jam enam, bisa langsung tidur lagi. Mau ampe jam sembilan, jam sepuluh, atau jam dua belas sekalian g’ akan ada yang marah. Tapi kalo ada kuliah, ya....terpaksa bangun. Dipepetin ma jadwal kuliahnya, bangun, mandi, ganti baju, trus cabut ke kampus. Persetan dengan kamar yang berantakan. Toh kalo dibenerin, ntar juga berantakan lagi.
Nyampe di kampus, udah hampir telat, eee....ternyata ada tugas yang harus dikumpulin. Lupa. Embat aja pekerjaan teman, salin secepatnya, trus masuk kelas dengan wajah tanpa dosa. Untung – untungan juga sih, semoga aja sang dosen g’ nyuruh buat ngerjain tugas tadi ke depan kelas. Abis kuliah, langsung deh melesat ke kantin fakultas, tadi pagi lom sempet sarapan, perut udah keroncongan ni. Kongkow – kongkow di kantin ma anak – anak se-gank. Ngobrol ngalor ngidul g’ jelas, ditemeni nasi opor ayam, es teh dan sebatang rokok filter, duuuh.....nikmatnya..! walaupun makan dah abis, eman - eman kalo langsung pergi. Kantin fakultas kan pas di tengah – tengah kampus, bisa sambil cuci mata. Banyak daun muda sliwar – sliwer di sekitar kantin. Mubadzir kalo gak dinikmati.
Jam 13.00. ada kuliah lagi. Uhhh...malesnya....ngantuk nih. Tapi kalo bolos, ntar gak bisa ikut ujian, sebelum ini udah tiga kali bolos. Terpaksa deh beranjak ke kelas juga. Nyampe kelas, dosen udah datang. Beruntung temen – temen yang datang duluan pada ngisi bangku paling depan. Tidak seperti masa SMA dulu. Yang datang terlambatlah yang dapat tempat duduk persis di depan guru. Dengan duduk di deretan belakang, bisa lebih leluasa kalo mau disambi ngegame pake HP atau mau tiduan.
Menjelang sore, bingung nih mau ngapain. Kalo balik ke kos, paleng cuma bisa ngegame, nonton film, mbaca komik, atau ngenet en chatting di kos temen yang ada koneksi internetnya. Bosen akh, tiap hari gitu – gitu terus. Pengen jalan - jalan gak ada yang mau nemeni. Bukan berarti gak laku karena gak punya pacar, tapi kalo punya pacar kan gak bisa nglirik cewek lain. Ya to? Ngajakin temen – temen sekelas, pada sok rajin semua! Mau ngerjain tugas lah, mau belajar lah, mau rapat lah, cih....! bodo banget sih mereka, hidup itu cuma sebentar, kok dihabisin buat ngerjain aktivitas yang berat – berat gitu, dimanfaatin dunk untuk seneng – seneng. Toh gak perlu pintar – pintar amat, gak perlu IP cum laude biar bisa dapet kerjaan dengan gaji gede. Kata dosen ni, lulusan di jurusan ini tu masa nganggurnay gak lama. Mulai dari yang paling pintar sampe yang paling o-on. Semuanya pasti dapat pekerjaan di perusahaan besar, dengan gaji jutaan tentunya. Perusahaan mana sih yang gak ngiler dapat SDM orang – orang lulusan Teknik UGM. Untuk apa repot –repot nyari IP tinggi kalo dengan IP dua koma aja udah bisa dapat pekerjaan di tempat yang sama. Iya sih, yang luluse cum laude bisa lulus cepat, lebih cepet dapat kerjaan, kenaikan pangkat ama gaji juga bisa lebih cepet. Tapi, kenapa harus cepet – cepet! Santai dikit napa? Kayak orang waras dikejar – kejar orang gila aja.
Hmm, ke club aja deh. Pasti banyak cewek – cewek cakep yang bisa diajak kenalan. Syukur – syukur bisa diajak kencan besok – besoknya. Oke, sekarang siap – siap dulu. Cewek – cewek di sana kan gaul – gaul abiz. Harus dandan rapi nih. Gak seperti di kampus, udah ceweknya cuma dikit, kuper – kuper lagi! Punya wajah gak cantik – cantik amat, kulit gak mulus – mulus banget, tapi pake pakaian yang serba tertutup gitu. Takut kena sengatan matahari atau........takut takut ketahuan kalo kulitnya belang – belang? ha..ha..ha..
Sip, jam segini pasti udah mulai rame, tadi kalo tidak salah mbaca di spanduknya, malem ini akan dimeriahkan oleh sexy dancer dari Jakarta. Wuihh.....pasti keren banget! Oke, let’s go to the party.....!
Nah kan, untung buru – buru berangkat tadi. Hampir aja gak kebagian tempat parkir di dalam. Woy........rame banget bo! Cewek – ceweknya, ck...ck...ck... bener – bener serasa di surga nih. Ha..ha..ha.. malem ini bakal jadi malam yang panjang.
Yah...kok udahan, belum puas nih! Baru juga jam dua. Hhhh....mana duit udah habis lagi. Ya sudah lah, besok – besok bisa ke sini lagi kok. Lagian, tadi dapet kenalan cewek cantik dari kampus sebelah kan? Bisa ngajak dia ni kalo mau ke sini lagi. Kayake dia malah lebih berpengalaman. Duuuh...kepala ini kok rasanya pusing ya? Dunia seakan – akan berputar. Kalo sudah nyampe kos, harus langsung tidur ni. Eh, bukane besok masuk kuliah jam tujuh? Ah..masa bodo! Yang penting tidur dulu! Zzzzzz.....zzzzz.....zzz.....zz.....z.....
Emmm, brisik amat sih, lagi enak – enakan tidur juga! Hmmm......HAAH! Ini di mana? Kok tempat tidurnya jadi rumput hijau seindah ini? Bahkan ada bunga warna – warni di sekelilingnya. Belum pernah ada taman bunga seindah ini. Emmm suara berisik tapi merdu itu, seperti orang – orang yang lagi ngobrol. Asalnya dari dalam pintu gerbang besar itu ya? Eh, pintunya kebuka. Wau, ada gadis cantik yang keluar. Eh, gak cuma satu, ada banyak. Berapa puluh tuh? Cantik – cantik semua, wajahnya terlihat teduh dan ceria, kulit mereka putih dan mulus, binar bola matanya, duuuuhhh..... gak nguatin. Bener – bener mirip bidadari yang turun dari khayangan. Eh, emang pernah liat bidadari? Yaah, meski belum pernah liat, tapi pasti, bidadaripun gak akan lebih cantik dari mereka. Kecantikan mereka benar – benar sempurna!
Kesempatan emas kayak gini gak boleh disia – siain. Salah satunya, atau kalo bisa semuanya, harus jatuh dalam pelukanku. “Ehm, permisi nona, boleh kita kenalan? Kalo boleh tahu, siapa nama nona - nona yang sangat cantik ini? Dan ini tempat apa ya? Kalian semua tinggal di sini?” sip, mereka berhenti, he..he.. gak kayak cewek – cewk yang selama ini ku kenal, seringnya pada nyuekin. “nona – nona ini mau ke mana ya? Boleh saya temeni? Tidak baik kalo nona – nona pergi sendiri, harus ada laki – laki yang njagain”.
“Maaf, kami tidak perlu ditemani!”
Duh, meskipun sedikit membentak, suaranya terdengar sangat merdu, mengalahkan semua jenis suara terindah yang pernah kudengar.
“Kami ingin menjemput suami kami. Jadi, kamu tidak perlu menjagaain”
“Hah? Kalian semua, masing – masing udah punya suami ya? Gak ada satu pun yang masih single?”
“Bukan masing – masing, tapi kami semua memang dipersiapkan untuk menjadi istri orang ini.”
“HA??? semua? Jadi, suami kalian cuma satu orang? Tamak sekali orang ini, kenapa juga kalian mau? Aneh!”
“Ah, sulit menjelaskannya padamu, lagi pula bagaimana kamu bisa ada di sini? Ini bukan tempatmu, tempat ini tidak pantas di datangi orang – orang yang sering menyia- nyiakan apa – apa yang dimilikinya, tidak pantas dihuni oleh orang – orang yang tidak pernah memberikan manfaat apapun kepada siapapun, tidak berhak didiami oleh orang – orang yang tidak punya simpati, bahkan empati kepada sesamanya. Kalo boleh memberi saran, sebaiknya kamu segera pergi. Jika penjaga tempat ini melihatmu di sini, kamu bisa dihukum dengan hukuman yang amat pedih. Selamat tinggal!”
“Hai...Hai...! jangan pergi dulu, aku masih belum mengerti maksudmu? Hai....! cepat sekali mereka pergi, seperti melayang saja, hiii...kok jadi meringding ya? Eh, apa ini .....? wa...wa...waaaaaaa.......kenapa tanah yang ku pijak tadi tiba – tiba lenyap? Tolong........! aku jatuh.........tolong...................................! Gedubrak! Aduh.......aduh......sakit.......lho kok? Aku ada di lantai? Lhoh? Ini kan di kamar kos? Jadi, tadi cuma mimpi ya? wa....udah jam sepuluh. Bolos kuliah lagi deh.