Panduan menggunakan Blog ini :D

Pembaca yang budiman, silahkan isi kolom komentar dan memulai diskusi pada setiap postingan. Semakin ramai semakin semangat saya dalam mengelola blog ini. Selamat menjelajahi seluruh isi blog. ^_^.

Mar 16, 2011

Ngambil dari Buku Diarynya Dewi (episode 02)

“Assalamu'alaykum Dewi.......”

“Wa'alaykumussalam Bu Rahma, ada yang bisa saya bantu?”

“Besok ahad pagi sibuk tidak? Bisa bantuin ibu menata taman bacaan yang baru mau ibu rintis?”

“Em.......Insya Alloh bisa Bu, tapi agak siangan. Mungkin sekitar jam 9 saya baru bisa ke sana. Tempatnya di mana Bu?”

“deket kok sama rumah Ibu. Nanti Dek Dewi ke rumah Ibu dulu aja”

“Oh, baik Bu, Insya Alloh. Ada yang perlu saya bawa atau persiapkan?”

“Tidak usah, Ibu cuma butuh bantuan tenagamu, Oh,ya nanti Nisa dan Nabila juga ibu mintai tolong. Kalian belum saling kenal kan? Nanti sekalian Ibu kenalin”

“Yang pernah ibu ceritain itu ya, Baik Bu”

“Sampai ketemu besok ahad ya, Assalamu'alaykum”

“Wa'alaykumussalam Bu”

Kututup handphoneku. Dan aku kembali mengerjakan tugas-tugas kuliahku.

Hari ahadnya, setelah mengikuti pengajian rutin ahad pagi, aku segera menuju ke rumah bu Dewi. Sesampainya di sana, aku langsung di sambut oleh Haniya yang sedang bermain puzzle di teras rumah. Aku bantu dia membuka pintu gerbang, kami saling mengucapkan salam dan dia mencium punggung tanganku.

“Ayo kak ke tempat bunda! Tadi bunda pesen kalau kak Dewi sudah datang, Haniya diminta langsung mengantar kak Dewi ke sana. Kak Nisa ama Kak Nabila juga udah datang”.

Haniya membereskan permainan puzzlenya, masuk ke rumah, menutup dan mengunci pintu rumah dan pintu gerbang. Semakin hari, gadis kecil ini semakin membuatku terpesona. Sepertinya, bukan hanya aku. Tetangga-tetangganya di sini dan guru-gurunya di TKIT pun takjub dengan “keajaiban” yang sering Haniya pertunjukkan. Dengan berdiri di depanku, Haniya menunjukkan arah mana yang harus aku tuju.

Tidak terlalu jauh memang, masih di komplek yang sama. Hanya selisih dua gang. Lokasi yang hendak Bu Rahma jadikan taman bacaan ini sungguh ideal. Sebuah ruangan berukuran sekitar 8 m x 5 m tepat berada di samping gang, tidak menjorok ke dalam, sehingga terlihat jelas keberadaannya. Lahan kosong di sebelahnya bisa dijadikan tempat parkir. Bu Rahma dan dua orang perempuan yang aku taksir usianya hanya sekitar beberapa tahun di atasku tampak sedang menyelesaikan tahap akhir bersih-bersih ruangan tersebut.

Melihatku sudah tiba, Bu Rahma menghentikan aktivitasnya. “Eh, Dewi udah datang, Assalamu'alaykum......” sapanya sambil menjabat tanganku.

“Wa'alaykumusslam” Jawabku menyambut uluran tangannya.

Lalu, Bu Rahma memperkenalkanku kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Mbak Nisa satu tahun di atasku. Kuliah di Psikologi semester 7. Sedangkan Mbak Nabila 3 tahun lebih tua. Beliau sedang menempuh S2. Kami sempat mengobrol sebentar mengenai aktivitas kuliah kami masing-masing. Obrolan kami berhenti ketika Bu Rahma secara halus memerintahkan kami untuk melanjutkan acara bersih-bersihnya. Sebenarnya untuk bersih-bersih ruangan ini sudah hampir selesai. Hanya tinggal melanjutkan mengepel saja. Tapi kemudian, Bu Rahma memberikan arahan,

“Nah, sembari nanti menunggu lantai kering, coba kalian bertiga diskusikan, kira-kira penataan ruangan yang bagus bagaimana. Itu rak-rak buku, meja dan kursinya tinggal di tata saja. Ibu sama Haniya ke rumah dulu. Ntar Ibu balik lagi. Tolong ya. O,ya pinjem motornya Wi”

Aku serahkan kunci motorku ke Bu Rahma sambil bertanya, “Faqih ke mana Bu?”

“Di rumah, lagi bobok, makanya tadi Haniya Ibu minta jagain Faqih sambil nunggu kamu. Ini Ibu mau balik ke rumah nengokin Faqih. Semoga aja belum bangun”, setelah itu beliau segera pergi bersama Haniya. Meninggalkan kami bertiga yang sebenarnya bingung mau mulai bagaimana, tapi kemudian Mbak Nabila sebagai yang tertua berinisiatif,

“Bagaimana kalu penataannya begini...” kemudian dia menjelaskan idenya. Dimana rak-rak itu harus diletakkan, termasuk meja kursinnya. Dia juga menyampaikan tentang ide penambahan karpet agar anak-anak yang suka duduk lesehan merasa nyaman untuk membaca di tempat. Mbak Nisa menambahkan ide untuk memberi hiasan-hiasan dinding yang bersifat edukatif, serta rencana penataan buku dan pembagiannya di dalam rak-rak. Semua ide tersebut dicatat dalam sebuah notes. Aku agak malu karena tidak menyumbang ide apapun. Hanya mengiyakan saja.

Setelah lantai kering, kami kembali bekerja. Memasukkan rak-rak -yang ternyata tidak berat-, meja dan kursi. Selesai menatanya, ternyata Bu Rahma belum datang. Kamipun mengobrol sambil menunggu beliau. Dari obrolan ini, baru aku ketahui, bahwa dulu tempat ini dipakai untuk toko klontong. Karena kalah bersaing dengan mini market baru yang buka di jalan raya dekat kompleks ini, pemiliknya pun memilih untuk menutup tokonya dan menjual/mengkontarakkan tempatnya. Kemudian suami Bu Rahma membelinya. Termasuk membeli lahan kosong di sebelahnya -yang juga dimiliki si pemilik toko klontong-. Bu Rahma dan suaminya memang memiliki cita-cita memiliki taman bacaan yang bisa menarik dan meningkatkan minat baca anak-anak muda, minimal yang berada di kompleks ini. Bu Rahma memang sering cerita, beberapa remaja dan anak-anak di kompleks ini memiliki minat baca yang lumayan tinggi, sehingga beliau sering meminjamkan buku-buku koleksi pribadinya. Taman bacaan ini nantinya tidak hanya akan diisi buku-buku agama maupun buku pelajaran sekolah saja. Tetapi ada juga buku-buku cerita dan buku-buku pengetahuan umum. Yang penting buku tersebut mengandung ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Ketika aku tanyakan kepada Mbak Nabila, apakah Bu Rahma akan memasang tarif bagi penyewa atau peminjam buku-buku di taman bacaan ini, Mbak Nabila menjawab tidak. Tetapi jika ada yang ingin menyumbang agar koleksi taman bacaan ini semakin banyak, dipersilahkan saja.

Lagi-lagi aku tidak habis pikir, dana untuk mendirikan taman bacaan ini tentu tidak kecil. Apalagi sampai membeli tanah beserta bangunannya. Tetapi Bu Rahma dan suaminya sama sekali tidak mengharapkan profit dari sini. Ketika aku utarakan unug-unegku ini kepada Mbak Nisa dan Mbak Nabila, tepat pada saat itu Bu Rahma dan Haniya datang. Bu Rahma membawa kardus besar di jok belakang motorku. Kamipun menghentikan obrolan kami dan membantu beliau menurunkannya. Ternyata isinya buku-buku. Kami segera membukanya dan memilah-milahnya, kemudian kami tata ke dalam rak sesuai pembagian yang tadi sudah kami putuskan. Sedangkan Haniya asyik sendiri mengambil salah satu buku dan membacanya. Bu Rahma memuji hasil kerja kami. Meski kami bertiga tidak ada yang pernah mendapat pelajaran tentang desain interior, tetapi hasil desain kami bagus. Begitu pujian dari beliau.

Sambil menata buku-buku kedalam rak, Mbak Nabila -dengan gaya bercanda- menyampaikan uneg-unegku tadi kepada Bu Rahma. Wajahku sepertinya menjadi merah padam menahan malu. Tetapi Bu Rahma menanggapinya dengan serius.

“Mendirikan taman bacaan yang bisa menambah ilmu pengetahuan anak-anak dan remaja merupakan mimpi Ibu sejak Ibu masih seusia kalian. Dan Alhamdulillah, Alloh menjodohkan Ibu dengan seorang laki-laki yang juga memiliki mimpi yang sama. Kalian pasti akan kaget kalau tau ada berapa banyak mimpi atau cita-cita Ibu yang ternyata sama persis dengan cita-cita Bapak. Dan ini adalah salah satunya.”

“Memang, ada berapa Bu cita-cita Ibu yang sama?” aku tak tahan untuk tidak menanyakan ini.

“Ada banyak, Ibu sampai tidak hafal berapa jumlahnya. Kapan-kapan saja Ibu ceritakan lebih lengkap. Untuk taman bacaan ini, apa kalain tau? Kami mulai merencanakannya sejak kapan?”

Kami hanya menggelengkan kepala, kemudian Bu Rahma melanjutkan,

“Di Hari pertama kami menikah. Kami saling menceritakan impian dan cita-cita kami. Kemudian kami mulai menyusun rencana untuk mewujudkannya bersama-sama. Mana yang diprioritaskan dan mana yang ditangguhkan. Dan Alhamdulillah, pendirian taman bacaan ini hanya terlambat satu tahun dari target yang kami canangkan waktu itu. Permasalahan utamanya hanya karena kami belum menemukan tempat yang cocok dan ideal saja”.

“Em.....jadi sebenarnya, untuk dana, sudah ada sejak tahun lalu ya Bu?” aku masih penasaran.

“Sayangku,” Bu Rahma menyunggingkan senyumnya, “menurut sepengetahuanmu, Ibu dan Bapak punya berapa usaha sampingan?”

“E.....” aku mengingat-ingat sambil menoleh ke Mbak Nisa dan Mabk Nabila meminta bantuan, “Warung makan yang di dekat kampus” aku mulai menyebutkan satu persatu.

“Usaha catering, toko roti dan kue di daerah Sagan” Mbak Nisa menambhakan

“Rental komputer dan foto copy di dekat UIN itu juga punya Ibu kan?” Mbak Nabila ikut membantu.

“Oh, Iya, ada juga toko bunga di dekat Masjid Syuhada, ada lagi tidak Bu?” aku menoleh lagi ke Mbak Nisa dan Mbak Nabila. Tapi keduanya diam. Sepertinya memang hanya ada empat itu.

“Kalau yang kepemilikannya penuh, iya benar hanya ada empat, tetapi kami juga punya beberapa usaha yang kepemilikannya gabungan antara Bapak dengan teman-teman Bapak. Nah, untuk membeli lahan termasuk bangunannya ini, kami menjual kepemilikan warung makan yang di dekat kampus itu kepada salah seorang teman Bapak. Jadi, kalau seandainya kami menemukan tempat yang ideal ini tahun kemaren, warung makan itu sudah bukan milik kami lagi sejak satu tahun yang lalu”.

Oh...aku baru paham. Keluarga Bu Rahma tidak menabung uangnya di bank. Tetapi menjadikannya modal usaha. Ketika mereka membutuhkan dana, usaha tersebut dijual. Benar-benar ide yang brilyan.

“Menurut kalian, apa kelebihan menabung uang dalam bentuk usaha dibandingkan ketika kita taruh saja uangnya di bank, toh sama-sama akan jadi semakin banyak uangnya” Bu Rahma menyampaikan pertanyaannya seakan-akan beliau bisa membaca pikiranku.

“Yang jelas bunga bank itu haram, kalau dengan menjadikannya modal usaha, penambahan uang kita berasal dari hal yang halal” aku langsung menyahut.

Bu Rahma hanya mengangguk kemudain menoleh ke arah Mbak Nisa yang ikut menjawab,

“Keuntungan dari usaha itu bisa berkali-kali lipat dibandingkan dengan keuntungan dari bunga bank”

“Dengan catatan, usahanya dimenej dengan tepat dan diperhitungkan yang cermat, serta dengan ijin Alloh tentunya sehingga usaha itu tidak bangkrut” Bu Rahma buru-buru menambahkan, “Ada yang punya jawaban lain?”

“Nilai mata uang itu makin lama makin turun. Lima ribu rupiah hari ini bisa untuk membeli satu porsi nasi lengkap dengan lauknya, tetapi lima ribu pada 10 tahun lagi bisa jadi cuma dapat nasi putih satu bungkus” Mbak Nabila menjawab dengan sangat cerdas menurutku.

“Semuanya benar, tetapi masih ada satu lagi alasan utama yang belum kalian sebutkan” Bu Rahma berhenti sejenak, melihat kami bertiga yang saling pandang dengan wajah bingung, beliau melanjutkan, “uang yang digunakan untuk membuka usaha itu berarti membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain, sedangkan uang yang disimpan di bank tidak memberikan manfaat apapun, malah membuat beban orang yang meminjam uang kita karena harus menanggung bunganya”

Kami hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan beliau. Aku sama sekali tidak terpikirkan tentang itu. Pemikiran yang luar biasa menurutku. Jiwa sosial yang begitu tinggi. Sebuah sikap yang sudah sangat jarang dimiliki oleh orang-orang di negeri ini. Kumandang adzan dzuhur menghentikan obrolan kami. Bu Rahma menyuruh kami menghentikan aktivitas menata buku ke dalam rak dan meminta kami ke rumahnya untuk shalat dzuhur dan makan siang. Selesai Shalat dan makan, kami melanjutkan menata bukunya. Taman bacaan ini sendiri rencananya baru akan diresmikan pekan depan. Menunggu suami Bu Rahma pulang dari tugas keluar negeri. Sekali lagi aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari ini.

4 comments:

haniya said...

yey.. di upload.. ^.^

Hafiq said...

menunggu untuk episode tiga :D

haniya said...

Sepertinya lagi sibuk. Bakalan lama ni episode tiganya muncul.. ^^

Hafiq said...

malah terbitin tulisan yang lain dulu tuh :D