Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya membuat muslim di negara ini mudah menjalankan setiap ritual ibadahnya. Khususnya ibadah shalat. Dengan banyaknya penganut agama islam, maka shalat lima waktu akan terasa ringan dan mudah karena dikerjakan bersama-sama, banyak yang juga melakukan dan ada toleransi atau mudah mendapat ijin untuk meninggalkan aktivitasnya sejenak demi melaksanakan ibadah shalat. Berbeda dengan ketika berada di Negara yang minoritas muslim. Sebagai pekerja atau karyawan, ijin untuk meninggalkan pekerjaannya demi melaksanakan ibadah shalat sangat sulit diperoleh dari majikan atau pimpinan yang non muslim. Akhirnya, pelaksanaannya pun diam-diam dan diliputi rasa was-was. Dikerjakan sendirian atau hanya segelintir orang. Bahkan bisa jadi, pemeluk agama Islam di Negara yang mayoritas non muslim sering mengerjakan shalat lima waktu tidak di awal waktu, tidak berjamaah atau mungkin terpaksa menjamak-qoshor shalatnya. Padahal dalam hati mereka, mereka sangat merindukan bisa melaksanakan ibadah shalat dengan sempurna.
Kontras dengan yang terjadi di Indonesia. Khususnya di kota-kota besar macam Jakarta. Sebulan lebih aku merantau di Jakarta, langsung saja aku temui beberapa kejadian yang nyata-nyata menunjukkan begitu mudahnya shalat ditinggalkan oleh pemeluk agama Islam. Pertama kali, saat perjalanan berangkat ke Jakarta. Aku berangkat jam 20.30 dari Solo. Sampai stasiun Bandung (transit dulu ke Bandung karena ada suatu keperluan) pukul 06.00. artinya shalat subuh hanya mungkin dilakukan di dalam kereta. Saat itu, gerbong yang aku tumpangi penuh. Kebanyakan laki-laki. Sehingga, tidak mungkin ada alasan libur. Aku perhatikan, mulai saat waktu subuh masuk (aku disms temanku yang di Bandung bahwa waktu subuh sudah masuk) sampai langit terang benderang, hanya ada dua orang yang beranjak ke toilet (pastinya untuk berwudhu), aku dan seorang Bapak-Bapak yang duduk beberapa kursi di depanku. Dengan asumsi jumlah muslim di Indonesia ada 80%, maka dimungkinkan jumlah muslim di gerbong kereta yang sama denganku juga 80%. Tapi yang melaksanakan shalat subuh tidak sampai 5%. (perhitungan kasarnya, jumlah penumpang 64, sekitar 80% muslim, atau 50 penumpang muslim)
Kejadian kedua saat pulang mudik menjelang lebaran. Kali ini aku naik bus. Berankat pukul 13.30. Asumsiku semua mengawali perjalanan dengan menjamak shalat dhuhur dan ‘asar. Sekitar pukul 18.00, bus berhenti di rumah makan, buka puasa. Semua penumpang segera menuju ke tempat makan prasmanan yang sudah disediakan khusus bagi penumpang bus. Selesai makan, aku ke mushola, melaksanakan shalat maghrib dan isya secara jamak-qoshor. Waktu aku datang ke mushola, tidak banyak orang di sana. Hanya ada beberapa orang yang sedang shalat sendiri-sendiri. Karena tidak yakin mereka shalat jamak juga, aku putuskan untuk shalat sendiri. Selesai shalat, orang-orang yang ada di mushola sudah berganti. Aku pun segera ke bus. Ternyata hanya aku dan temanku (temanku lagi libur, jadi nunggu di luar mushola) yang belum masuk bus. Setelah kami masuk, bus segera berangkat. Dalam hati, aku sempat su’udzon, apa para penumpang lain tidak shalat? Aku tadi makan dan shalat dengan cukup cepat.Shalat jamak-qoshornya pun hanya lima raka’at. Jika mereka juga melaksanakan shalat jamak-qoshor, misalnya sebelum makan, harusnya mereka masih makan atau selesai bersamaan denganku. Sayangnya waktu itu aku tidak memperhatikan para penumpang bus, apakah sama dengan yang tadi aku temui shalat juga di mushola.
Esok paginya, bus berhenti sekitar jam 03.00 untuk sahur. Selesai makan sahur, sebelum masuk waktu subuh, bus berjalan. Akhirnya aku shalat subuh di bus. Dan aku perhatikan, kali ini tidak ada yang beranjak ke toilet selain aku hingga langit terang benderang. Jam 07.00 aku sampai di Kartasura. Aku dan temanku turun. Meninggalkan pertanyaan besar dalam benakku. Mereka mudik lebaran, bukankah berarti mereka muslim? Ini bulan Ramadhan, bukankah sangat eman-eman meninggalkan ibadah wajib sekelas Shalat lima waktu? Aku masih tidak habis pikir.
Berikutnya, saat perjalanan kembali ke Jakarta. Kini aku perhatikan baik-baik para penumpangnya. Aku ingin memastikan. Mereka nanti shalat maghrib dan isya’ di mushola tidak. Seperti perkiraan, sekitar pukul 19.00 bus berhenti untuk makan malam. Aku dan temenku segera makan, kami percepat. Selesai makan kami segera ke mushola. Masuk mushola kosong. Aku tadi lihat ada beberapa orang penumpang bus yang sama denganku juga sedang wudhu. Aku ingin mengajak mereka shalat berjama’ah. Mereka pastinya shalat jamak juga kan? Begitu pikirku. Seorang Bapak-Bapak yang aku yakin beliau satu bus denganku, tempat duduknya di depan sebelah kanan kursiku. Sebagai orang yang lebih muda, aku persilahkan beliau dengan sangat sopan untuk menjadi imam, “Pak jama’ah ya, shalat jamak maghrib isya’ kan?” kataku sambil mempersilahkan beliau ke depan. Tetapi jawaban Bapaknya membuatku shock, “enggak kok, tadi nggak maghrib”. Belum hilang kekagetanku dan kebingunganku mencerna jawaban Bapaknya, seorang pemuda yang masuk mushola tepat ketika aku bertanya pada Bapak tadi menambahi, “tadi udah maghrib”, terus dia menuju ke depan dan shalat, sendiri, Bapak tadi juga kemudian menyusul shalat, sendiri juga. Aku masih bingung, tapi kemudian aku putuskan shalat jama’ah dengan temanku, berdua saja. Shalat maghrib-isya’ jamak-qoshor. Ketika selesai shalat maghrib sebelum berdiri untuk shalat isya’ aku lihat Bapak dan pemuda tadi sudah tidak ada. Selesai shalat isya’, kami segera ke bus. Lagi-lagi kami penumpang terakhir yang masuk bus. Aku lihat pemuda yang ada di mushola tadi duduknya di depan Bapak tadi. Sepertinya mereka satu rombongan. Jika benar yang pemuda tadi katakan, “tadi udah maghrib”, kapan mereka mengerjakannya? Bus sampai di rumah makan sekitar pukul 19.00, waktu maghrib sudah hampir habis atau malah sudah habis. Jika mereka shalat di bus, kenapa aku tidak melihat mereka ke toilet (tempat dudukku di belakang mereka), kalaupun mereka tayamum, bukankah tidak boleh jika masih terdapat air? Kemudian yang paling membingungkan adalah jawaban sang Bapak, “enggak kok, tadi nggak maghrib”, artinya Bapak tadi tidak shalat maghrib karena waktunya telah lewat? Apa beliau tidak tahu tentang aturan shalat jamak? Aneh.
Untuk meyakinkan hal itu, ketika masuk waktu subuh, aku perhatikan lagi kedua orang tadi. Dari tempat dudukku terlihat posisi mereka yang sedang tidur. Dari massuk waktu subuh hingga langit terang lagi-lagi aku tidak merasa ada yang ke toilet atau melakukan gerakan shalat di tempat dudukknya (entah untuk yang duduk di kursi belakangku). Kedua orang yang kemaren aku temui shalat isya’ di mushola itupun tidak tampak menunaikan shalat subuh di bus. Begitu mudahkah bagi mereka meninggalkan shalat fardhu?
Lain lagi cerita di kantor. Obrolan ringan dengan sesama guru maupun karyawan lain sering aku lakukan. Sampai suatu saat, ada seorang yang dengan tenangnya mengatakan, “tadi bangunku kesiangan jam 6 lebih baru bangun, langsung nyiapin kebutuhan anak-anak, sampai gak shalat subuh”. Aku yang kaget mendengar pernyataan itu langsung menanggapi, “lha kok gak shalat subuh dulu, shalat subuh cuma bentar kan?” aku pikir alasan beliau tidak shalat subuh karena terburu-buru untuk nyiapain kebutuhan dua anaknya. Ternyata dugaanku salah, bilau menjawab, “lha udah terang gitu, waktu subuh kan udah lewat?”, aku segera membenarkan, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bener-bener karena ketiduran kan? Harusnya shalat dulu. Gak papa”. Beliau masih sempet menanyakan, apa boleh shalat subuh setelah matahari terbit? Kujawab saja boleh. Sebenarnya mau menceritakan dalil dibolehkannya mengqodo’ shalat subuh dengan alasan ketiduran (tidak disengaja), yakni saat Nabi dan rombongannya tertidur dalam suatu perjalanan, dua orang sahabat yang diminta berjaga dan membangunkan saat masuk waktu subuh pun juga ketiduran. Merea terbangun terbangun setelah unta-unta mereka bersuara karena merasakan panasnya tanah akibat teriknya matahari, Nabi dan rombongnnya tetap melaksanakan shalat subuh setelah mereka bangun. Padahal saat itu sudah masuk waktu dhuha. Tetapi karena ada yang beragama non muslim, aku mengurungkan niat untuk menceritakan kisah itu, takut disindir “Nabi kok shalatnya telat”. Aku sedang tidak ingin berdebat waktu itu.
Shalat, ibadah fardhu ‘ain yang sangat penting dan menjadi tiangnya agama ini. Bagaimana mungkin Islam bisa berdiri tegak jika para pemeluknya menyepelekan ibadah shalat? Bahkan ilmu pengetahuan tentang shalat, aturan shalat jamak, shalat qoshor maupun aturan mengqodo’ shalat yang terlewat waktunya tidak dimengerti. Bukankah ilmu itu diajarkan di bangku sekolah? Apakah mereka tidak memiliki keinginan dan ketertarikan untuk mempelajari agama yang mereka yakini? Jika demikian, apakah berarti mereka juga tidak memiliki keinginan dan ketertarikan dengan balasan yang Alloh janjikan di kehidupan akherat?
Kontras dengan yang terjadi di Indonesia. Khususnya di kota-kota besar macam Jakarta. Sebulan lebih aku merantau di Jakarta, langsung saja aku temui beberapa kejadian yang nyata-nyata menunjukkan begitu mudahnya shalat ditinggalkan oleh pemeluk agama Islam. Pertama kali, saat perjalanan berangkat ke Jakarta. Aku berangkat jam 20.30 dari Solo. Sampai stasiun Bandung (transit dulu ke Bandung karena ada suatu keperluan) pukul 06.00. artinya shalat subuh hanya mungkin dilakukan di dalam kereta. Saat itu, gerbong yang aku tumpangi penuh. Kebanyakan laki-laki. Sehingga, tidak mungkin ada alasan libur. Aku perhatikan, mulai saat waktu subuh masuk (aku disms temanku yang di Bandung bahwa waktu subuh sudah masuk) sampai langit terang benderang, hanya ada dua orang yang beranjak ke toilet (pastinya untuk berwudhu), aku dan seorang Bapak-Bapak yang duduk beberapa kursi di depanku. Dengan asumsi jumlah muslim di Indonesia ada 80%, maka dimungkinkan jumlah muslim di gerbong kereta yang sama denganku juga 80%. Tapi yang melaksanakan shalat subuh tidak sampai 5%. (perhitungan kasarnya, jumlah penumpang 64, sekitar 80% muslim, atau 50 penumpang muslim)
Kejadian kedua saat pulang mudik menjelang lebaran. Kali ini aku naik bus. Berankat pukul 13.30. Asumsiku semua mengawali perjalanan dengan menjamak shalat dhuhur dan ‘asar. Sekitar pukul 18.00, bus berhenti di rumah makan, buka puasa. Semua penumpang segera menuju ke tempat makan prasmanan yang sudah disediakan khusus bagi penumpang bus. Selesai makan, aku ke mushola, melaksanakan shalat maghrib dan isya secara jamak-qoshor. Waktu aku datang ke mushola, tidak banyak orang di sana. Hanya ada beberapa orang yang sedang shalat sendiri-sendiri. Karena tidak yakin mereka shalat jamak juga, aku putuskan untuk shalat sendiri. Selesai shalat, orang-orang yang ada di mushola sudah berganti. Aku pun segera ke bus. Ternyata hanya aku dan temanku (temanku lagi libur, jadi nunggu di luar mushola) yang belum masuk bus. Setelah kami masuk, bus segera berangkat. Dalam hati, aku sempat su’udzon, apa para penumpang lain tidak shalat? Aku tadi makan dan shalat dengan cukup cepat.Shalat jamak-qoshornya pun hanya lima raka’at. Jika mereka juga melaksanakan shalat jamak-qoshor, misalnya sebelum makan, harusnya mereka masih makan atau selesai bersamaan denganku. Sayangnya waktu itu aku tidak memperhatikan para penumpang bus, apakah sama dengan yang tadi aku temui shalat juga di mushola.
Esok paginya, bus berhenti sekitar jam 03.00 untuk sahur. Selesai makan sahur, sebelum masuk waktu subuh, bus berjalan. Akhirnya aku shalat subuh di bus. Dan aku perhatikan, kali ini tidak ada yang beranjak ke toilet selain aku hingga langit terang benderang. Jam 07.00 aku sampai di Kartasura. Aku dan temanku turun. Meninggalkan pertanyaan besar dalam benakku. Mereka mudik lebaran, bukankah berarti mereka muslim? Ini bulan Ramadhan, bukankah sangat eman-eman meninggalkan ibadah wajib sekelas Shalat lima waktu? Aku masih tidak habis pikir.
Berikutnya, saat perjalanan kembali ke Jakarta. Kini aku perhatikan baik-baik para penumpangnya. Aku ingin memastikan. Mereka nanti shalat maghrib dan isya’ di mushola tidak. Seperti perkiraan, sekitar pukul 19.00 bus berhenti untuk makan malam. Aku dan temenku segera makan, kami percepat. Selesai makan kami segera ke mushola. Masuk mushola kosong. Aku tadi lihat ada beberapa orang penumpang bus yang sama denganku juga sedang wudhu. Aku ingin mengajak mereka shalat berjama’ah. Mereka pastinya shalat jamak juga kan? Begitu pikirku. Seorang Bapak-Bapak yang aku yakin beliau satu bus denganku, tempat duduknya di depan sebelah kanan kursiku. Sebagai orang yang lebih muda, aku persilahkan beliau dengan sangat sopan untuk menjadi imam, “Pak jama’ah ya, shalat jamak maghrib isya’ kan?” kataku sambil mempersilahkan beliau ke depan. Tetapi jawaban Bapaknya membuatku shock, “enggak kok, tadi nggak maghrib”. Belum hilang kekagetanku dan kebingunganku mencerna jawaban Bapaknya, seorang pemuda yang masuk mushola tepat ketika aku bertanya pada Bapak tadi menambahi, “tadi udah maghrib”, terus dia menuju ke depan dan shalat, sendiri, Bapak tadi juga kemudian menyusul shalat, sendiri juga. Aku masih bingung, tapi kemudian aku putuskan shalat jama’ah dengan temanku, berdua saja. Shalat maghrib-isya’ jamak-qoshor. Ketika selesai shalat maghrib sebelum berdiri untuk shalat isya’ aku lihat Bapak dan pemuda tadi sudah tidak ada. Selesai shalat isya’, kami segera ke bus. Lagi-lagi kami penumpang terakhir yang masuk bus. Aku lihat pemuda yang ada di mushola tadi duduknya di depan Bapak tadi. Sepertinya mereka satu rombongan. Jika benar yang pemuda tadi katakan, “tadi udah maghrib”, kapan mereka mengerjakannya? Bus sampai di rumah makan sekitar pukul 19.00, waktu maghrib sudah hampir habis atau malah sudah habis. Jika mereka shalat di bus, kenapa aku tidak melihat mereka ke toilet (tempat dudukku di belakang mereka), kalaupun mereka tayamum, bukankah tidak boleh jika masih terdapat air? Kemudian yang paling membingungkan adalah jawaban sang Bapak, “enggak kok, tadi nggak maghrib”, artinya Bapak tadi tidak shalat maghrib karena waktunya telah lewat? Apa beliau tidak tahu tentang aturan shalat jamak? Aneh.
Untuk meyakinkan hal itu, ketika masuk waktu subuh, aku perhatikan lagi kedua orang tadi. Dari tempat dudukku terlihat posisi mereka yang sedang tidur. Dari massuk waktu subuh hingga langit terang lagi-lagi aku tidak merasa ada yang ke toilet atau melakukan gerakan shalat di tempat dudukknya (entah untuk yang duduk di kursi belakangku). Kedua orang yang kemaren aku temui shalat isya’ di mushola itupun tidak tampak menunaikan shalat subuh di bus. Begitu mudahkah bagi mereka meninggalkan shalat fardhu?
Lain lagi cerita di kantor. Obrolan ringan dengan sesama guru maupun karyawan lain sering aku lakukan. Sampai suatu saat, ada seorang yang dengan tenangnya mengatakan, “tadi bangunku kesiangan jam 6 lebih baru bangun, langsung nyiapin kebutuhan anak-anak, sampai gak shalat subuh”. Aku yang kaget mendengar pernyataan itu langsung menanggapi, “lha kok gak shalat subuh dulu, shalat subuh cuma bentar kan?” aku pikir alasan beliau tidak shalat subuh karena terburu-buru untuk nyiapain kebutuhan dua anaknya. Ternyata dugaanku salah, bilau menjawab, “lha udah terang gitu, waktu subuh kan udah lewat?”, aku segera membenarkan, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bener-bener karena ketiduran kan? Harusnya shalat dulu. Gak papa”. Beliau masih sempet menanyakan, apa boleh shalat subuh setelah matahari terbit? Kujawab saja boleh. Sebenarnya mau menceritakan dalil dibolehkannya mengqodo’ shalat subuh dengan alasan ketiduran (tidak disengaja), yakni saat Nabi dan rombongannya tertidur dalam suatu perjalanan, dua orang sahabat yang diminta berjaga dan membangunkan saat masuk waktu subuh pun juga ketiduran. Merea terbangun terbangun setelah unta-unta mereka bersuara karena merasakan panasnya tanah akibat teriknya matahari, Nabi dan rombongnnya tetap melaksanakan shalat subuh setelah mereka bangun. Padahal saat itu sudah masuk waktu dhuha. Tetapi karena ada yang beragama non muslim, aku mengurungkan niat untuk menceritakan kisah itu, takut disindir “Nabi kok shalatnya telat”. Aku sedang tidak ingin berdebat waktu itu.
Shalat, ibadah fardhu ‘ain yang sangat penting dan menjadi tiangnya agama ini. Bagaimana mungkin Islam bisa berdiri tegak jika para pemeluknya menyepelekan ibadah shalat? Bahkan ilmu pengetahuan tentang shalat, aturan shalat jamak, shalat qoshor maupun aturan mengqodo’ shalat yang terlewat waktunya tidak dimengerti. Bukankah ilmu itu diajarkan di bangku sekolah? Apakah mereka tidak memiliki keinginan dan ketertarikan untuk mempelajari agama yang mereka yakini? Jika demikian, apakah berarti mereka juga tidak memiliki keinginan dan ketertarikan dengan balasan yang Alloh janjikan di kehidupan akherat?
No comments:
Post a Comment