Saat di rumah, di Katosuro, 18 tahun aku habiskan hidupku di kota kecil itu, di pinggiran Solo. Saat itu aku belum begitu memperhatikan mengenai kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Tetanggaku memang ada yang kaya. Punya mobil, rumah bagus, tapi penampilannya biasa saja. Orang tua ku cerita kalau tetanggaku itu penghasilannya ratusan ribu rupiah per hari. Tapi aku melihat anak-anaknya biasa saja. Sering ngajak kami maen futsal bareng, terkadang dia yang bayarin kalo ada anak yang gak mau ikut karena gak ada uang. Atau ngajak renang bareng. Dengan gaya dan penampilan yang sama dengan kami, anak orang miskin. Sekolahnya memang sekolah swasta yang bagus, berbeda dengan kami yang sekolah di negeri karena lebih murah. Dia berangkat sekolah memang dengan naik motor bagus, tapi dia tidak sungkan ketika menemani kami bersepeda bareng ke pengging, tempat pemandian untuk renang. Jadi saya merasa tidak ada perbedaan dan kesenjangan yang mencolok antara orang kaya dan miskin.
Begitu pula ketika empat tahun kuhabiskan waktuku di Jogja. Aku memang benemukan orang-orang kaya atau lebih tepatnya anak orang kaya di sekelilingku. Aku punya teman yang berangkat dan pulang sekolah naik mobil sendiri. Ada juga yang uang sakunya satu juta sebulan (yang sama dengan uang sakuku selama tiga bulan). Atau tiap pekan ngajakin nonton ke bioskop dan jalan-jalan di mall. Meskipun demikian, ketika sama-sama beraktivitas di kampus, gaya dan pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan saya. Cara bicara dan bercandaannya pun sama saja. Kebingungannya dalam masalah pelajaranpun tidak jauh berbeda dengan kebingunganku. Ngajak aku maen ke rumahnya, naik mobilnya, minjemi aku laptop bahkan samapai aku bawa pulang, nraktir aku nonton di bioskop, semua itu juga membuatku merasa bahwa dia bukan “orang kaya”. Dia hanyalah seorang teman yang baik hati, suka menolong, suka berbagi.
Namun kini, baru satu bulan aku merantau ke Jakarta. Perbedaan antara si kaya dan si miskin benar-benar tampak nyata. Jelas sejelas-jelasnya. Aku punya rekan kerja. Dia selalu membawa bekal makan siang dan makan malamnya dari rumah. Masakan istrinya tentu. Nasi sayur dan lauk. Kadang tahu, kadang tempe. Sangat jarang beliau membawa telur untuk lauknya alih-alaih daging ayam. Padahal jajan di warteg dekat kantor sebenarnya tidak terlalu mahal. Anggap saja nasi sayur lauk gorengan Rp.5000,-. Untuk makan siang dan malam hanya menghabiskan Rp.10.000,- dalam satu bulan (25 hari jam kerja) hanya keluar uang Rp.250.000,- angka yang kecil sebenarnay untuk gajinya yang mencapai Rp.2.000.000,-. Tetapi beliau memilih untuk membawa bekal dari rumah dengan perhitungan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit. Meski menurut perkiraanku selisihnya tidak seberapa. Namun dengan selisih ini beliau bisa menabung atau menambah kebutuhan keluarganya. Sebuah analisis finansial yang luar biasa cermat. Ada juga seorang rekan kerja, perempuan, yang memilih jalan kaki ke kantor untuk menghemat ongkos transportasi. Beliau lebih memilih capek daripada mengeluarkan ongkos Rp.1.000,- untuk naik angkot. Lagi-lagi perhitungan finansial yang cermat.
Bertolak belakang dengan hal itu, aku punya murid yang sudah tiga kali ini (dalam satu bulan) aku ketahui mereka bertiga makan siang di pizza hut sebelum belajar di tempatku. Padahal kita tahu, satu porsi makan di pizza hut harganya belasan ribu. Ini anak SMA. Kebetulan letak pizza hut tidak jauh dari tempat lesku. Jadi mereka bertiga (datang dengan mobil masing-masing) memarkir mobilnya di pizza hut (yang parkirannya luas, beda dengan tempat lesku yang sempit). Lain lagi cerita tentang murid cewekku. Libur lebaran kemaren dia jalan-jalan ke “Aussy”, begitu dia menyebutnya. Di sana dia membeli aksesori yang lucu dan menarik (tentu di Indonesia gak ada aksesori macam itu), dia pamerkan kepada temannya yang saat itu satu kelas di dalm kelasku. Temannya tentu saja protes, “kok kamu gak beliin aku sih? Kamu kan tahu aku suka koleksi kayak gitu juga?”. Si murid cewekku yang baru pulang dari Aussy itu pun menjawab dengan ringan, “iya, ntar klo aku ke sana lagi aku beliin”. Percakapan itu mengingatkanku pada salah seorang rekan kerjaku. Ketika aku tanya, “Pak, mudik pak?”. Beliau menjawab, “Tidak Pak, eman-eman duit buat mudik. Mending buat beli susu anak”.
Berhenti sampai di sini? Tentu tidak. Saat menunggu jemputan, salah seorang murid duduk di lobi kantor sambil entah sms-an atau online dengan black berrynya. Saat itu, di lobi itu pun aku dan Mr. Lao She (guru bahasa mandarin) sedang mengobrolkan banyak hal. Obrolan kami akhirnya sampai pada masalah pulsa hp. Tiba-tiba Mr. Lao She bertanya pada sang murid yang lagi asyik dengan hpnya. “Dek, kamu sebulan habis pulsa berapa?”. Murid itu sempat kaget, tapi kemudian menjawab, “gak tahu Pak” kemudian ia menambahkan, “tiap minta ayah untuk diisi, langsung diisi ma ayah”. Mr Lao She melanjutkan pertanyaannya, “tiap minta diisi, diisi berapa ma ayahmu?”. Ia pun menjawab, “kadang 50 kadang 100”. Tentu yang ia maksud Rp.50.000,- dan Rp.100.000,-.Mr. Lao She masih melanjutkan, “50 atau 100 itu habis gak sebulan?”. Sang murid hanya senyum-senyum menanggapi pertanyaan itu. Mr. Lao She langsung menyimpulkan, “berarti sekitar 50 sampai 100 ya ongkos pulsa sebulannya?”. Sayangnya aku tidak mengajar murid cewek yang satu ini. Jadi aku tidak tahu dia kelas berapa. Aku taksir mungkin anak kelas XI atau XII. Menghabiskan pulsa seratus ribu sebulan. Atau bahkan lebih karena dia bilang tiap minta diisi, ayahnya selalu ngisi. Tanpa ada batasan waktu.
Hal ini lah yang mungkin menjadi penyebab iklim atau suasana di Jakarta menjadi tidak sehat. Orang miskin akan merasa iri, bahkan mungkin sangat iri dengan kemewahan orang kaya. Sedangkan orang kaya menganggap orang miskin tidak perlu dikasihani karena menganggap mereka malas. Aku jadi ingat kata-kata seorang rekan kerja, “ketika hidup di Jakarta, saya bener-bener ketularan bersikap keras mas, dulu waktu masih di Malang lihat seorang pengemis gitu rasanya kasihan. Ada receh atau ribuan selalu saya kasih. Tapi setelah di Jakarta, jangankan ribuan, ada receh pun saya gak mau kasih. Bukan apa-apa mas, tapi sering lihat, pengemis di Jakarta itu bohong-bohongan semua. Pura-pura bisu atau buta padahal enggak. Pura-pura bawa anak, padahal anak sewaan. Rasa kasihan ini jadi udah gak ada”.
Orang-orang yang ada di luar Jakarta tentu sangat mengidam-idamkan bisa menjadi kaya dan sukses seperti orang Jakarta yang sering mereka lihat di tivi-tivi. Sesampainya di Jakarta, jika keimanan dan mental mereka tidak kuat menghadapi kerasnya kehidupan ibu kota Jakarta, serta didorong dengan rasa iri akan kemewahan orang-orang yang sudah kaya dan ditambah juga dengan dorongan untuk bisa pulang kampung sambil membanggakan kekayaannya kepada keluarga dan tetangganya, maka mereka akan menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya. Tak peduli dengan nasib orang-orang yang mereka rugikan karena ulah mereka. Ketika mereka dinasehati atau mungkin hati kecilnya berontak, mereka akan menjawab, “mencari yang haram aja sudah susah Bang, apalagi suruh nyari yang halal” atau dengan jawaban, “kalo gak gini gak bisa makan Bang?”.
Lalu apakah kita akan membiarkan kota Jakarta terus seperti ini????? Yang besar kemungkinan juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia lainnya.
Begitu pula ketika empat tahun kuhabiskan waktuku di Jogja. Aku memang benemukan orang-orang kaya atau lebih tepatnya anak orang kaya di sekelilingku. Aku punya teman yang berangkat dan pulang sekolah naik mobil sendiri. Ada juga yang uang sakunya satu juta sebulan (yang sama dengan uang sakuku selama tiga bulan). Atau tiap pekan ngajakin nonton ke bioskop dan jalan-jalan di mall. Meskipun demikian, ketika sama-sama beraktivitas di kampus, gaya dan pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan saya. Cara bicara dan bercandaannya pun sama saja. Kebingungannya dalam masalah pelajaranpun tidak jauh berbeda dengan kebingunganku. Ngajak aku maen ke rumahnya, naik mobilnya, minjemi aku laptop bahkan samapai aku bawa pulang, nraktir aku nonton di bioskop, semua itu juga membuatku merasa bahwa dia bukan “orang kaya”. Dia hanyalah seorang teman yang baik hati, suka menolong, suka berbagi.
Namun kini, baru satu bulan aku merantau ke Jakarta. Perbedaan antara si kaya dan si miskin benar-benar tampak nyata. Jelas sejelas-jelasnya. Aku punya rekan kerja. Dia selalu membawa bekal makan siang dan makan malamnya dari rumah. Masakan istrinya tentu. Nasi sayur dan lauk. Kadang tahu, kadang tempe. Sangat jarang beliau membawa telur untuk lauknya alih-alaih daging ayam. Padahal jajan di warteg dekat kantor sebenarnya tidak terlalu mahal. Anggap saja nasi sayur lauk gorengan Rp.5000,-. Untuk makan siang dan malam hanya menghabiskan Rp.10.000,- dalam satu bulan (25 hari jam kerja) hanya keluar uang Rp.250.000,- angka yang kecil sebenarnay untuk gajinya yang mencapai Rp.2.000.000,-. Tetapi beliau memilih untuk membawa bekal dari rumah dengan perhitungan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit. Meski menurut perkiraanku selisihnya tidak seberapa. Namun dengan selisih ini beliau bisa menabung atau menambah kebutuhan keluarganya. Sebuah analisis finansial yang luar biasa cermat. Ada juga seorang rekan kerja, perempuan, yang memilih jalan kaki ke kantor untuk menghemat ongkos transportasi. Beliau lebih memilih capek daripada mengeluarkan ongkos Rp.1.000,- untuk naik angkot. Lagi-lagi perhitungan finansial yang cermat.
Bertolak belakang dengan hal itu, aku punya murid yang sudah tiga kali ini (dalam satu bulan) aku ketahui mereka bertiga makan siang di pizza hut sebelum belajar di tempatku. Padahal kita tahu, satu porsi makan di pizza hut harganya belasan ribu. Ini anak SMA. Kebetulan letak pizza hut tidak jauh dari tempat lesku. Jadi mereka bertiga (datang dengan mobil masing-masing) memarkir mobilnya di pizza hut (yang parkirannya luas, beda dengan tempat lesku yang sempit). Lain lagi cerita tentang murid cewekku. Libur lebaran kemaren dia jalan-jalan ke “Aussy”, begitu dia menyebutnya. Di sana dia membeli aksesori yang lucu dan menarik (tentu di Indonesia gak ada aksesori macam itu), dia pamerkan kepada temannya yang saat itu satu kelas di dalm kelasku. Temannya tentu saja protes, “kok kamu gak beliin aku sih? Kamu kan tahu aku suka koleksi kayak gitu juga?”. Si murid cewekku yang baru pulang dari Aussy itu pun menjawab dengan ringan, “iya, ntar klo aku ke sana lagi aku beliin”. Percakapan itu mengingatkanku pada salah seorang rekan kerjaku. Ketika aku tanya, “Pak, mudik pak?”. Beliau menjawab, “Tidak Pak, eman-eman duit buat mudik. Mending buat beli susu anak”.
Berhenti sampai di sini? Tentu tidak. Saat menunggu jemputan, salah seorang murid duduk di lobi kantor sambil entah sms-an atau online dengan black berrynya. Saat itu, di lobi itu pun aku dan Mr. Lao She (guru bahasa mandarin) sedang mengobrolkan banyak hal. Obrolan kami akhirnya sampai pada masalah pulsa hp. Tiba-tiba Mr. Lao She bertanya pada sang murid yang lagi asyik dengan hpnya. “Dek, kamu sebulan habis pulsa berapa?”. Murid itu sempat kaget, tapi kemudian menjawab, “gak tahu Pak” kemudian ia menambahkan, “tiap minta ayah untuk diisi, langsung diisi ma ayah”. Mr Lao She melanjutkan pertanyaannya, “tiap minta diisi, diisi berapa ma ayahmu?”. Ia pun menjawab, “kadang 50 kadang 100”. Tentu yang ia maksud Rp.50.000,- dan Rp.100.000,-.Mr. Lao She masih melanjutkan, “50 atau 100 itu habis gak sebulan?”. Sang murid hanya senyum-senyum menanggapi pertanyaan itu. Mr. Lao She langsung menyimpulkan, “berarti sekitar 50 sampai 100 ya ongkos pulsa sebulannya?”. Sayangnya aku tidak mengajar murid cewek yang satu ini. Jadi aku tidak tahu dia kelas berapa. Aku taksir mungkin anak kelas XI atau XII. Menghabiskan pulsa seratus ribu sebulan. Atau bahkan lebih karena dia bilang tiap minta diisi, ayahnya selalu ngisi. Tanpa ada batasan waktu.
Hal ini lah yang mungkin menjadi penyebab iklim atau suasana di Jakarta menjadi tidak sehat. Orang miskin akan merasa iri, bahkan mungkin sangat iri dengan kemewahan orang kaya. Sedangkan orang kaya menganggap orang miskin tidak perlu dikasihani karena menganggap mereka malas. Aku jadi ingat kata-kata seorang rekan kerja, “ketika hidup di Jakarta, saya bener-bener ketularan bersikap keras mas, dulu waktu masih di Malang lihat seorang pengemis gitu rasanya kasihan. Ada receh atau ribuan selalu saya kasih. Tapi setelah di Jakarta, jangankan ribuan, ada receh pun saya gak mau kasih. Bukan apa-apa mas, tapi sering lihat, pengemis di Jakarta itu bohong-bohongan semua. Pura-pura bisu atau buta padahal enggak. Pura-pura bawa anak, padahal anak sewaan. Rasa kasihan ini jadi udah gak ada”.
Orang-orang yang ada di luar Jakarta tentu sangat mengidam-idamkan bisa menjadi kaya dan sukses seperti orang Jakarta yang sering mereka lihat di tivi-tivi. Sesampainya di Jakarta, jika keimanan dan mental mereka tidak kuat menghadapi kerasnya kehidupan ibu kota Jakarta, serta didorong dengan rasa iri akan kemewahan orang-orang yang sudah kaya dan ditambah juga dengan dorongan untuk bisa pulang kampung sambil membanggakan kekayaannya kepada keluarga dan tetangganya, maka mereka akan menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya. Tak peduli dengan nasib orang-orang yang mereka rugikan karena ulah mereka. Ketika mereka dinasehati atau mungkin hati kecilnya berontak, mereka akan menjawab, “mencari yang haram aja sudah susah Bang, apalagi suruh nyari yang halal” atau dengan jawaban, “kalo gak gini gak bisa makan Bang?”.
Lalu apakah kita akan membiarkan kota Jakarta terus seperti ini????? Yang besar kemungkinan juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia lainnya.
2 comments:
benar fiq, aku yo ngraasin juga, aplgi aku berada dlm sistem bisnis, lebih kerasa,kelihatan terlalu kacau terlalu mengejar keuntungan dunia, makanya itu fiq, aku pengin segera balik daerah, he..he..,sabar fiq
yup. tapi dengan tinggal di jakarta kita bisa mngambil banyak hal, banyak pelajaran, menurutku sih begitu. jika terus-terusan berada di zona nyaman, maka kita tidak akan bisa merasakan kerasnya hidup. kurang teruji gitu. heheheh :D
itu pendapat pribadi ane sih :)
Post a Comment