“Ya Alloh, udah jam 7 pagi. Kenapa tadi aku bisa tidur lagi habis shalat subuh...... huff.... aku kan ada janji ngantar Bu Rahma ke puskesmas, harus cepat-cepat bersiap ni”. Aku segera beranjak dari tempat tidur, bersiap-siap secepat mungkin. Ku kenakan rok hitam panjang dan gamis coklat polos serta jilbab dengan warna coklat muda. Sekalian kubawa perlengkapan kuliahku, nanti setelah mengantar Bu Rahma, aku berencana mau langsung ke kampus. Ku keluarkan sepeda motor maticku, dan tanpa sempat ku cuci setelah semalam kehujanan, kukendarai secepat mungkin ke rumah Bu Rahma. Rumah Bu Rahma sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi jam segini jalanan pasti padat. Jadwal Bu Rahma menjadi moderator semacam acara seminar di Puskesmas adalah jam 9. tentu sangat konyol kalau sampai beliau terlambat. Alhamdulillah, jalanan yang ku lalui tidak terlalu padat, bahkan di beberapa perempatan aku tidak terjebak lampu merah.
“Assalamu'alaykum” terdengar bunyi salam ketika ku pencet bel rumah Bu Rahma. Ku lirik jam tanganku, “semoga masih sempat”.
Bu Rahma keluar dengan menggendong Faqih, bayinya yang masih belum genap berumur setahun, dan Haniya, anak pertamanya yang belum sekolah mengikuti ibunya dari belakang.
“Assalamu'alaykum kak Dewi.........” Bu Rahma mengucapkan salam dengan mengajarkan memanggilku “kak” kepada anak pertamanya. Haniya pun mengikuti kata-kata ibunya sambil berlari dan membukakan pintu gerbang -yang aku bantu mendorongnya-, kemudian dia menyalami dan mencium punggung tanganku.
“Wa'alaykumussalam........dek Haniya pintar banget, mbukain pintu buat kakak” jawabku sambil mengusap lembut jilbab kecilnya.
“Langsung berangkat yuk kak, udah hampir telat”
Aku segera bersiap dengan sepeda motorku. Haniya berdiri di depan. Sepanjang perjalanan Haniya banyak bercerita dan mengatakan macam-macam. Aku tak habis pikir, anak sekecil ini sudah memiliki perbendaharaan kata yang sedemikian banyak. Kalau belum mengenal Bu Rahma, pasti aku akan sangat penasaran dengan cara mendidik anak ini.
Tiba di puskesamas pukul 8.50, Alhamdulillah tidak terlambat. Tetapi para peserta seminar, yakni Ibu-ibu di sekitar puskesmas, beberapa mahasisiwi dari jurusan gizi dan kesehatan, serta pemateri utama, seorang dokter ahli gizi sudah hadir. Acara ini sebenarnya ide dari LSM yang didirikan Bu Rahma beserta suaminya. Dilatarbelakangi oleh keprihatinan beliau terhadap kekurang pahaman masyarakat akan pentingnnya pemberian makanan yang tepat bagi bayi dan balita. Ide ini disampaikan ke pihak puskesmas, dan puskesmas pun memfasilitasi dengan menyediakan tempat dan sarananya, sedangkan biayanya, murni dari LSM. Ibu-ibu yang diundang sebenarnya tidak hanya yang berada di sekitar puskesmas. Tetapi juga dari desa-desa sebelah. Tetapi sepertinya tidak semua yang diundang bisa hadir. Terlihat banyak kursi kosong yang ku perkirakan hampir setengahnya.
Acara dimulai tepat pukul 9. Bu Rahma membuka acara. Menjadi MC sekaligus moderator. Selain bertugas mengantar Bu Rahma, aku juga diminta menemani Haniya dan Faqih. Aku duduk di barisan belakang, menggendong Faqih. Haniyah duduk di sebelahku. Matanya fokus memandang ibunya yang sedang berbicara. Seakan-akan ia paham betul apa yang Ibunya sampaikan. Sekali lagi aku bersyukur, Faqih sedang tidak rewel. Meskipun dia tidak sedang bobok. Ketika acara diserahkan kepada Dokter ahli gizi -yang baru aku ketahui namanya Dokter Ana-, beliau menyampaikan tentang pentingnya pemberian ASI pada 6 bulan pertama sang bayi, tanpa memberi makanan tambahan apapun. Dan tetap memberikan ASI hingga anak usia dua tahun. Dokter Ana juga menyampaiakan makanan-makanan tambahan yang boleh dan yang tidak boleh diberikan ke anak berusia diatas 6 bulan hingga 2 tahun, sekaligus menjelaskan kandungan-kandungan yang terdapat pada bahan makanan tersebut. Ketika beliau menyebukan istilah-istilah seperti karbohidrat, protein, mineral dan sebagainya, Haniya berulang kali menarik jilbabku dan menanyakan artinya. Aku agak kewalahan juga menjawabi semua pertanyaannya. Takut jika jawabanku nanti menimbulkan pertanyaan baru yang tidak bisa aku jawab, aku kan tidak kuliah di bidang gizi dan kesehatan. ^_^
Acara berakhir sekitar pukul sebelas. Kami segera pulang ke rumah Bu Rahma. Sesampainya di rumah, Bu Rahma mempersilahkan aku masuk. Aku sempat menolak dengan alasan mau ke kampus. Tetapi tawaran Bu Rahma untuk makan siang dulu tak bisa ku tolak. Makanan di rumah Bu Rahma memang tidak terlalu istimewa, tetapi sangat enak. Kali ini beliau masak nasi sayur bothok dengan lauk karak, tempe dan tahu. Aku makan dengan ditemani Haniya yang juga makan dengan lahap. Sedangkan Bu Rahma menggendong Faqih sambil -sepertinya- beberes di belakang. Ketika Bu Rahma ke ruang makan, aku sudah selesai makan, dan aku tak tahan lagi untuk tidak menyampaikan uneg-unegku.
“Maaf Bu sebelumnya, boleh saya bertanya?”
“Kenapa pakai maaf segala? Kamu ini kayak sama siapa saja” Bu Rahma mengambil tempat duduk di depanku, sambil tersenyum, beliau melanjutkan, “mau tanya apa sayang?”
“Bu, sekali lagi maaf, tapi saya tidak tahan untuk tidak mengatakannya” aku mengambil nafas sejenak, “Dari dulu saya tidak habis pikir, suami Ibu dosen dan punya jabatan tinggi di kampus, Ibu dan suami juga memiliki beberapa usaha yang saya perkirakan penghasilannya besar, tetapi Ibu malah menggunakan uang hasil jerih payah Ibu dan suami Ibu untuk sesuatu yang.....bersifat sosial” -aku sempat bingung untuk memilih kata terakhir itu-. Melihat Bu Rahma yang hanya tersenyum dan sepertinya belum ingin memotong pembicaraanku, akupun kembali melanjutkan, “Dan itu jumlahnya tidak sedikit. Berbeda dengan orang tua dari teman-teman saya yang juga seperti Ibu”.
“Maksudmu, orang kaya begitu?” kali ini Bu Rahma memotong pembicaraanku.
“Iya, maksud saya orang tua temen-temen saya yang kaya” jawabku dengan agak malu, “Em....mereka lebih banyak menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, baru sisanya, atau sebagian kecilnya yang didermakan untuk kepentingan sosial. Sedangkan Ibu, memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sederhana ini, alih-alih perumahan bagus yang saya yakin Ibu mampu membelinya. Juga memilih mendonasikan sebagian besar harta Ibu untuk kegiatan LSM, atau kegiatan masjid, daripada untuk membeli perabot rumah, membeli mobil, atau untuk tamasya keluarga ke luar negeri, seperti yang sering teman-teman ceritakan ke saya tentang pengalamannya jalan-jalan keluar negeri”. Aku berhenti, menunggu jawaban Bu Rahma dengan penuh rasa penasaran.
“Begini sayang, ketika hendak menikah dulu, Ibu dan suami Ibu sudah saling berjanji, bahwa harta kami nanti akan kami gunakan untuk kepentingan umat. Kami memiliki kesepahaman, dan cita-cita yang sama, sehingga kami tidak merasa keberatan dengan semua ini. Harta itu hanya titipan dari Alloh, kelak di akherat kita akan ditanyai, kita gunakan untuk apa harta yang telah Ia titipkan? Dan pernyataanmu tadi, bahwa orang-orang memilih untuk lebih banyak menggunakan harta hasil jerih payahnya untuk kebahagiaan mereka dulu, sebelum digunakan untuk kepentingan sosial, kami pun juga melakukannya. Dan inilah kebahagiaan kami, ketika kami bisa memberikan yang terbaik bagi umat.”
Sekali lagi aku dibuat takjub dengan jawaban beliau. Bagi kami yang masih mahasiswa ini, mungkin idealisme seperti Bu Rahma dan suaminya wajar didengar. Tetapi ketika benar-benar sudah memiliki harta yang banyak, tidak banyak yang bisa bertahan dengan idealismenya. Ketika masih disibukkan dengan pikiranku sendiri, suara Bu Rahma agak mengejutkanku.
“Besok, kalau Dewi mau menikah, carilah suami yang mementingkan urusan agama dan umat, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya”
“Tetapi, bagaimana saya mencarinya Bu? Bukankah fitrahnya wanita itu menunggu ada pria yang datang melamar?”
“Memang benar begitu sayang, tetapi Alloh sudah menasehati para wanita, jika kamu menginginkan suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik pula. Sudah menjelang Dzuhur, kamu mau shalat di sini atau di kampus?” Bu Rahma beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, saya ke kampus saja Bu, ada rapat ba'da dzuhur. Terimakasih banyak Bu atas jamuan makan siang dan diskusinya” Aku pun beranjak ke depan, Haniya mendahuluiku dan membukakan pintu.
“Hati-hati ya kak, kapan-kapan main ke sini lagi” Sebelum aku menjawab permintaan Haniya, Bu Rahma keburu menambahkan
“Ibu yang seharusnya berterima kasih, kamu telah banyak membantu Ibu”
“Ah, Ibu, jangan sungkan begitu. Saya jadi malah merasa tidak enak. Kalau ada apa-apa lagi yang bisa saya bantu, saya bersedia membantu dengan senang hati”
“Sementara ini cukup sayang, hati-hati di jalan”
“Iya Bu, saya pamit. Dek Haniya, kakak pulang dulu ya!, Assalamu'alaykum”
“Wa'alaykmussalam warohmatullohi wabarokatuh” Jawab Bu Rahma dan Haniya kompak.
“Dadah............” lambaian tangan Haniya pun mengantar kepergianku.
6 comments:
OOhhh... jadinya judulnya "Ngambil dari Buku Diarynya Dewi"?
*manggut2*
ditunggu kelanjutan kisahnya..
hahaha.
lha mau aku tulis my diarry kan jadi aneh :)
lanjutanx kpn???
sabar ya. hehehe
Insya Alloh bentar lagi
up..up..up.. ayo upload!!! ^^
udah aku upload tu yang episode 2 :D
silahkan disimak
Post a Comment